BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sabun adalah suatu bentuk senyawa yang dihasilkan dari reaksi
saponifikasi. Saponifikasi adalah reaksi hidrolisis asam lemak oleh adanya basa
lemah (NaOH). Hasil lain dari saponifikasi adalah gliserol. Banyak atom C dapat mempengaruhi sifat-sifat sabun seperti kelarutan,
proses emulsi dan pembasahan. Sabun murni terdiri dari 95% sabun aktif dan
sisanya adalah air, gliserin, garam dan kemurnian lainnya. Semua minyak atau
lemak pada dasarnya dapat digunakan untuk membuat sabun. Lemak merupakan
campuran ester yang dibuat dari alkohol dan asam karboksilat seperti asam
stearat, asam oleat dan asam palmitat. Lemak padat mengandung ester dari
gliserol dan asam palmitat, sedangkan minyak, seperti minyak anggur mengandung
ester dari gliserol asam oleat (Fessenden, 1982).
Sabun merupakan suatu kebutuhan pokok manusia yang
selalu digunakan sehari-hari. Fungsi utama dari sabun adalah membersihkan. Dilingkungan
sekitar, banyak macam wujud sabun yang dapat ditemui, baik yang dalam bentuk
cair, lunak, krim maupun yang padat. Kegunaannya pun beragam, ada yang digunakan
sebagai sabun mandi, sabun cuci sabun tangan, sabun cuci peralatan rumah tangga
dan lain sebagainya (Fessenden, 1982).
Sabun dibuat dari proses saponifikasi lemak hewan
(tallow)
dan dari minyak tumbuhan. Gugus induk lemak disebut fatty acids yang
terdiri dari rantai hidrokarbon panjang (C12 sampai C18)
yang berikatan membentuk gugus karboksil. Asam lemak rantai pendek jarang
digunakan karena menghasilkan sedikit busa. Reaksi saponifikasi adalah
hidrolisis basa suatu ester dengan alkali (NaOH/KOH) (Luthana, 2010).
Sabun termasuk salah satu jenis surfaktan yang
terbuat dari minyak atau lemak alami. Surfaktan mempunyai struktur bipolar.
Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik. Karena
sifat inilah sabun mampu mengangkat kotoran (biasanya lemak) dari badan dan
pakaian. Selain itu, pada larutan, surfaktan akan berkumpul membentuk misel
setelah melewati konsentrasi tertentu yang disebut konsentrasi kritik misel.
Sabun juga mengandung sekitar 25% gliserin. Gliserin bisa melembabkan dan
melembutkan kulit, menyejukkan dan meminyakki sel-sel kulit. Oleh karena itu
dilakukan percobaan pembuatan sabun dan pengujian terhadap sifat-sifat sabun,
sehingga akan didapat sabun yang berkualitas (Luthana, 2010).
1.2 Tujuan
1.
Membuat dan memahami reaksi penyabunan
pada proses pembuatan sabun di laboratorium.
2.
Menjelaskan beberapa sifat sabun berdasarkan
percobaan yang dilakukan.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1
Sabun
2.1.1
Sejarah Penemuan Sabun
Sabun
berkaitan erat dengan kebersihan. Jika ditinjau dari aspek sejarah, kebersihan
mulai dipelajari manusia sejak manusia mengenal air yaitu pada saat awal mula
manusia hidup di bumi. Mereka bertempat tinggal di dekat sungai, dan minimal
mereka belajar membilas lumpur dari tangannya. Benda mirip sabun
ditemukan di dalam benda yang berbentuk tabung pada saat penggalian di situs
Babilonia kuno. Benda itu diperkirakan dibuat pada 2800 SM (Herbamart, 2011).
Istilah
saponifikasi dalam literatur berarti ‘soapmaking’. Akar kata sapo
yang dalam bahasa latin yang artinya sabun. Dalam salah satu legenda Romawi
kuno (±2800 SM), kata soap untuk
sabun berasal dari kata sapo yang merupakan nama gunung. gunung Sapo
merupakan tempat dimana hewan disembelih untuk dikorbankan kepada para dewa
dalam acara keagamaan. Lemak yang berasal dari hewan yang telah mati bercampur
dengan abu atau arang sisa pembakaran sehingga menghasilkan emulsi yang
sekarang kita kenal dengan nama sabun (soap) (Herbamart, 2011).
Ketika
hujan turun, lemak dan abu kayu atau arang yang telah bercampur mengalir ke sungai Tiber yang
berada di bawah gunung Sapo. Ketika orang-orang mencuci di sungai Tiber mereka
mendapati air tersebut berbusa ketika bersentuhan dengan pakaian mereka.
Hasilnya cukup ajaib, lemak dan kotoran lebih mudah terangkat (Herbamart, 2011).
Namun
sumber lain menyatakan bahwa nama atau istilah sapo berasal dari advertising bath soap “Bukit Sapo” di Italia di zaman Romawi kuno, meskipun
ceritanya mirip dengan cerita di atas, yaitu tentang adanya lemak binatang
persembahan yang bercampur abu mengalir turun ke tanah liat di tepian sungai
Tiber. Para perempuan mendapatkan bahwa cucian mereka menjadi lebih bersih
tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga dengan menggunakan tanah liat ini
untuk mencuci pakaiannya. Bangsa Yunani kuno mandi karena alasan estetika tanpa
memakai sabun. Tetapi mereka membersihkan tubuh mereka dengan gumpalan tanah liat,
pasir, batu apung dan abu, lalu melumuri badannya dengan minyak dan mengerik
lepas minyak dan tanah tersebut dengan alat yang terbuat dari logam yang
dinamakan “strigil”. Mereka juga memakai minyak dicampur abu. Mencuci
pakaian dilakukan di sungai tanpa sabun. Bangsa Jerman dan Gaul kuno juga
dikatakan menemukan suatu substansi yang dinamakan sabun, terbuat dari lemak
lembu dan abu, yang mereka pakai untuk mencat rambut agar berwarna merah (Herbamart, 2011).
Sejalan
dengan majunya peradaban Romawi, cara mandi pun menjadi lebih maju pula. Tempat
mandi umum Romawi pertama yang terkenal, yang airnya disalurkan melalui
jaringan perpipaan/saluran, dibangun kira-kira pada 312 SM. Tempat mandinya
mewah dan menjadi sangat populer. Menjelang abad kedua Masehi, Galen Tabib Yunani yang
terkenal, menganjurkan sabun untuk pengobatan maupun alat pembersih (Amin,
2006).
Pliny Elder seorang
pujangga dan filosof naturalis di abad 1 M, bangsa Phoenisia membuat sabun dari
lemak kambing dan abu kayu pada 600 SM dan terkadang menggunakannya sebagai
komoditas untuk barter dengan bangsa Gaul. Kata sabun petama kali muncul di
bahasa Eropa di dalam buku Pliny the Elder berjudul Historia Naturalis, yang
menguraikan tentang pembuatan sabun dari lemak dan abu, namun penggunaan yang
disebutkannya hanya sebagai jeli untuk rambut, dalam nada yang tidak setuju
disebutkannya bahwa di antara bangsa Gaul dan Jerman, lebih banyak kaum lelaki
yang menggunakannya dari pada perempuan (Amin, 2006).
Sabun
dikenal luas di zaman kekaisaran Romawi apakah bangsa Romawi belajar memakai
dan membuatnya dari orang-orang dari Laut Tengah kuno atau dari bangsa Keltik,
penduduk wilayah Britannia, tidaklah diketahui pasti. Bangsa Romawi kuno di
abad 1 M menggunakan urin untuk
membuat substansi seperti sabun. Urin mengandung ammonium karbonat yang
bereaksi dengan minyak dan lemak dari wol menghasilkan saponifikasi parsial.
Orang-orang yang disebut sebagai fullones
mondar mandir di jalanan kota mengumpulkan urin untuk dijual ke para pembuat
sabun (Amin, 2006).
Bangsa
Keltik, yang membuat sabun dari lemak binatang dan abu tanaman menamakan hasil
produksinya sebagai saipo, yang menjadi asal kata soap. Peranan penting sabun untuk mencuci dan membersihkan
tampaknya belum diketahui sampai abad ke 2 M Galen, tabib bangsa Yunani
menyebutnya sebagai obat dan alat pembersih tubuh. Pada zaman dahulu sabun
dipakai sebagai obat medis (Amin, 2006).
Kejatuhan
kekaisaran Roma tahun 467 M menurunkan pula kebiasaan mandi rakyatnya, sampai-sampai
sebagian besar benua Eropa merasakan akibat dari kejorokan mereka terhadap
kesehatan masyarakat. Lingkungan hidup dan kebersihan diri yang jorok ini
mempunyai andil besar pada terjadi wabah besar penyakit pes di abad pertengahan,
yang disebut sebagai Black Death di abad ke-14. Diperkirakan 30-50%
penduduk Eropa meninggal oleh wabah tersebut. Kebersihan diri dan kebiasaan
mandi baru kembali ke sebagian besar Eropa pada abad ke-17. Namun, masih ada
bangsa pada abad pertengahan yang tetap mementingkan diri (Herbamart,
2011).
Pembuatan
sabun menjadi kerajinan yang mapan di Eropa pada abad ke-7. Berbagai
perkumpulan para pembuat sabun menjaga rapat rahasia mereka. Minyak atau lemak
binatang dan nabati digunakan bersama dengan abu tumbuh-tumbuhan, dengan diberi
pewangi. Secara bertahap berbagai jenis sabun diciptakan untuk bercukur dan
keramas, mandi serta mencuci (Herbamart, 2011).
2.1.2
Sifat-sifat Sabun
Sifat-sifat
sabun adalah sebagai berikut (Arifin, 2011) :
1.
Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suku tinggi
sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air
bersifat basa.
CH3(CH2)16COONa
+ H2O CH3(CH2)16COOH
+ OH-
2.
Jika larutan sabun dalam air diaduk maka akan menghasilkan
buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun
dapat menghasilkan buih setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.
CH3(CH2)16COONa
+ CaSO4 Na2SO4
+ Ca(CH3(CH2)16COO)2
3.
Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan
proses kimia koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk
mencuci kotoran yang bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai
gugus polar dan non polar. Molekul sabun mempunyai rantai hidrogen CH3(CH2)16
yang bertindak sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut
dalam zat organik sedangkan COONa+ sebagai kepala yang bersifat
hidrofilik (suka air) dan larut dalam air. Non polar CH3(CH2)14
larut dalam miyak, hidrofobik, memisahkan kotoran polar. Polar COONa+ larut dalam air, hidrofilik,
memisahkan kotoran non polar.
Tahapan
proses penghilangan kotoran pada sabun yaitu sebagai berikut (Suryani, 2002) :
1.
Sabun didalam air menghasilkan busa yang akan menurunkan
tegangan permukaan sehingga air akan mudah meresap ke dalam kain dan kain
menjadi bersih.
2.
Molekul sabun akan mengelilingi kotoran dengan ekornya
dan mengikat molekul kotoran. Proses ini disebut emulsifikasi karena antara
molekul kotoran dan molekul sabun membentuk suatu emulsi.
3.
Sedangkan bagian kepala molekul sabun didalam air pada saat
pembilasan menarik molekul kotoran keluar dari kain sehingga kain menjadi
bersih.
2.1.3
Karakteristik
Pembuatan Sabun
Beberapa karaktersitik yang perlu diperhatikan dalam memilih
bahan dasar sabun antara lain (Perdana, 2009) :
1. Warna
Lemak dan minyak yang berwarna
terang merupakan minyak yang bagus untuk
digunakan sebagai bahan pembuatan sabun.
2.
Angka Saponifikasi
Angka Saponifikasi adalah angka yang
terdapat pada milligram kalium hidroksida yang digunakan dalam proses saponifikasi sempurna pada satu gram minyak. Angka saponifikasi digunakan
untuk menghitung alkali yang dibutuhkan dalam saponifikasi secara sempurna pada
lemak atau minyak.
3. Bilangan
Iod
Bilangan iod digunakan untuk menghitung
ketidak jenuhan minyak atau lemak, semakin besar angka iod, maka asam lemak
tersebut semakin tidak jenuh. Dalam pencampurannya, bilangan iod menjadi sangat
penting yaitu untuk mengidentifikasi ketahanan sabun pada suhu tertentu.
2.1.4 Metode
Pembuatan Sabun
Sabun dapat dibuat melalui proses batch atau
kontinyu. Pada proses batch, lemak atau minyak dipanaskan dengan
alkali (NaOH atau KOH) berlebih dalam sebuah ketel. Jika penyabunan telah
selesai, garam-garam
ditambahkan untuk mengendapkan sabun. Lapisan air yang mengandung garam,
gliserol dan kelebihan alkali dikeluarkan dan gliserol diperoleh lagi dari
proses penyulingan. Endapan sabun yang bercampur dengan garam, alkali dan
gliserol kemudian dimurnikan dengan air dan diendapkan dengan garam
berkali-kali (Perdana, 2009).
Akhirnya endapan direbus dengan air secukupnya untuk
mendapatkan campuran halus yang lama-kelamaan membentuk lapisan yang homogen
dan mengapung. Sabun ini dapat dijual langsung tanpa pengolahan lebih lanjut,
yaitu sebagai sabun industri yang murah. Beberapa bahan pengisi ditambahkan,
seperti pasir atau batu apung dalam pembuatan sabun gosok. Beberapa perlakuan
diperlukan untuk mengubah sabun dasar menjadi sabun mandi, sabun bubuk, sabun obat,
sabun wangi, sabun cuci, sabun cair dan sabun apung (dengan melarutkan udara di
dalamnya) (Wasita, 1997).
Pada proses kontinyu, yaitu lemak atau minyak dihidrolisis
dengan air pada suhu dan tekanan tinggi, dibantu dengan katalis seperti seng.
Lemak atau minyak dimasukkan secara kontinyu ke dalam sebuah reaktor. Kemudian
dari reaksi hidrolisis yang terjadi di dalam reaktor maka akan terbentuk asam
lemak dan gliserol. Asam-asam lemak yang dihasilkan kemudian dinetralkan dengan
alkali sehingga akan terbentuk sabun (Wasita, 1997).
2.1.5 Jenis-jenis Sabun
Jenis-jenis
sabun menurut Wasita (1997) :
a. Shaving Cream
Shaving
Cream disebut juga dengan sabun Kalium. Bahan dasarnya adalah
campuran minyak kelapa dengan asam stearat dengan perbandingan 2:1.
b. Sabun
Cair
Sabun cair dibuat melalui reaksi
saponifikasi antara minyak jarak dan alkali (KOH). Untuk meningkatkan
kejernihannya, ditambah gliserin atau alkohol.
c. Sabun
Kesehatan
Sabun kesehatan pada dasarnya merupakan
sabun mandi dengan kadar parfum yang rendah, tetapi mengandung bahan-bahan
antiseptik dan bebas dari bakteri adiktif. Bahan-bahan yang digunakan dalam
sabun ini adalah tri-salisil anilida, tri-klor carbanilyda, irgassan Dp 300 dan sulfur.
d. Sabun
Chip
Pembutan sabun chip tergantung pada tujuan konsumen didalam menggunakan sabun
yaitu sebagai sabun cuci atau sabun mandi dengan beberapa pilihan komposisi
tertentu. Sabun chip dapat dibuat
dengan berbagai cara yaitu melalui pengeringan, atau menggiling atau
menghancurkan sabun yang berbentuk batangan.
e. Sabun
bubuk untuk mencuci
Sabun bubuk dapat diproduksi melalui dry
mixing. Sabun bubuk mengandung bermacam-macam komponen seperti sabun, soda
ash, sodium metaksilat, sodium karbonat, sodium sulfat, dan lain-lain (Wasita,1997).
Jenis- jenis sabun menurut Spitz (1996)
:
a.
Sabun Keras atau
sabun cuci, yaitu sabun yangdibuat dari lemak dengan NaOH, misalnya Na-Palmitat
dan Na-Stearat.
b.
Sabun lunak atau
sabun mandi, yaitu sabun yang dibuat dari lemak dengan KOH, misalnya K-palmitat
dan K-Stearat (Spitz, 1996).
2.2
Reaksi
Saponifikasi
Reaksi
saponifikasi (saponification) adalah
reaksi yang terjadi ketika minyak/lemak dicampur dengan larutan alkali. Ada dua
produk yang dihasilkan dalam proses ini, yaitu sabun
dan gliserin. Istilah saponifikasi dalam
literatur berarti “soap making”. Akar
kata “sapo” dalam bahasa latin yang artinya soap/sabun.
Hasil lain dari reaksi saponifikasi ialah gliserol. Selain C12 dan C16,
sabun juga disusun oleh gugus asam karboksilat (Arifin, 2011).
Sabun adalah senyawa
kimia yang dihasilkan dari reaksi lemak atau minyak dengan alkali. Sabun juga
merupakan garam-garam monofalen dari asam karboksilat dengan rumus umumnya
RCOOM, R adalah rantai lurus (alifatik) panjang dengan jumlah atom C yang
bervariasi, yaitu antara C12
– C18 dan M adalah kation dari kelompok alkali. Range atom C diatas
mempengaruhi sifat-sifat sabun seperti kelarutan, proses emulsi dan pembasahan.
Sabun murni terdiri dari 95% sabun aktif dan sisanya adalah air, gliserin,
garam dan impurity lainnya (Arifin, 2011).
Semua minyak atau
lemak pada dasarnya dapat digunakan untuk membuat sabun. Lemak dan minyak
nabati merupakan dua tipe ester. Lemak merupakan campuran ester yang dibuat
dari alkohol dan asam karboksilat seperti asam stearat, asam oleat dan asam
palmitat. Lemak padat mengandung ester dari gliserol dan asam palmitat,
sedangkan minyak, seperti minyak zaitun mengandung ester dari gliserol asam
oleat (Hui, 2001).
2.3
Bahan Pembuat Sabun
2.3.1 Bahan Utama
a.
Minyak atau Lemak
Minyak atau lemak
merupakan senyawa lipid yang memiliki struktur berupa ester dari gliserol. Pada
proses pembuatan sabun, jenis minyak atau lemak yang digunakan adalah minyak
nabati atau lemak hewan. Perbedaan antara minyak dan lemak terdapat pada
wujudnya dalam suhu kamar. Minyak akan berwujud cair pada suhu kamar (± 28°C), sedangkan lemak
akan berwujud padat (Luthana, 2010).
Jumlah minyak atau lemak
yang digunakan dalam proses pembuatan sabun harus dibatasi karena berbagai
alasan, seperti kelayakan ekonomi, spesifikasi produk (sabun tidak mudah
teroksidasi, mudah berbusa, dan mudah larut), dan lain-lain. Beberapa jenis
minyak atau lemak yang biasa dipakai dalam proses pembuatan sabun di antaranya:
·
Tallow
(Lemak Sapi)
Tallow adalah lemak sapi atau domba yang
dihasilkan oleh industri pengolahan daging
sebagai hasil samping, tallow dengan kualitas baik
biasanya digunakan dalam pembuatan sabun mandi dan tallow dengan kualitas rendah digunakan dalam pembuatan sabun cuci.
Oleat dan stearat adalah asam lemak yang paling banyak terdapat dalam tallow. Jumlah FFA dari tallow berkisar antara 0,75-7,0 %.
Titer point pada tallow umumnya di
atas 40°C. Tallow dengan titer point
di bawah 40°C dikenal dengan nama grease.
Kandungan utama dari tallow yaitu :
asam oleat 40-45%, asam palmitat 24-37%, asam stearat 14-19%, asam miristat
2-8%, asam linoleat 3-4%, dan asam laurat 0,2% (Hui,1996).
·
Lard
(Lemak Babi)
Lard merupakan minyak babi yang masih
banyak mengandung asam lemak tak jenuh seperti asam oleat (60 - 65%) dan asam lemak jenuh
seperti asam stearat (35- 40%). Jika digunakan sebagai pengganti tallow, lard harus dihidrogenasi parsial terlebih dahulu untuk mengurangi
ketidak jenuhannya. Sabun yang dihasilkan dari lard berwarna putih
dan mudah berbusa (Splitz, 1996).
·
Palm Oil (Minyak
Sawit)
Minyak
sawit berwarna jingga kemerahan karena adanya kandungan zat warna karotenoid
sehingga jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun harus
dipucatkan terlebih dahulu. Sabun yang terbuat dari 100% minyak sawit akan
bersifat keras dan sulit berbusa. Maka dari itu, jika akan digunakan sebagai
bahan baku pembuatan sabun, minyak sawit harus dicampur dengan bahan lainnya.
Kandungan asam lemaknya yaitu asam palmitat 42-44%, asam oleat 35-40%, asam
linoleat 10%, asam linolenat 0,3%, asam arachidonat
0,3%, asam laurat 0,3%, dan asam miristat 0,5-1% (Hui, 1996).
· Coconut Oil (Minyak Kelapa)
Minyak
kelapa merupakan minyak nabati yang sering digunakan dalam industri pembuatan
sabun. Minyak kelapa berwarna kuning pucat dan diperoleh melalui ekstraksi daging
buah yang dikeringkan (kopra). Minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak
jenuh yang tinggi, terutama asam laurat sekitar 44-52%, sehingga minyak kelapa
tahan terhadap oksidasi yang menimbulkan bau tengik (Fessenden,
1982).
·
Palm Kernel Oil (Minyak Inti
Sawit)
Minyak
inti sawit diperoleh dari biji buah sawit. Minyak inti sawit memiliki kandungan
asam lemak yang mirip dengan minyak kelapa sehingga dapat digunakan sebagai
pengganti minyak kelapa. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak tak
jenuh lebih tinggi dan asam lemak rantai pendek lebih rendah daripada minyak
kelapa. Kandungan asam lemak yang terdapat pada palm kernel oil yaitu asam
laurat 40-52%, asam miristat 14-18%, asam oleat 11-19%, asam palmitat 7-9%,
asam kaprat 3-7%, asam kaprilat 3-5%, asam stearat 1-3%, dan asam linoleat 2% (Perdana,
2009).
· Palm Oil Stearine (Minyak Sawit Stearin)
Minyak
sawit stearin adalah minyak yang dihasilkan dari ekstraksi asam-asam lemak dari
minyak sawit dengan pelarut aseton dan heksana. Kandungan asam lemak terbesar
dalam minyak ini adalah asam palmitat 52-58% dan asam oleat 27-32%. Selain itu
juga terdapat asam linoleat 6,6-8,2%, asam stearat 4,8-5,3%, asam miristat 1,2-1,3%,
asam laurat 0,1- 0,4% (Perdana, 2009).
·
Marine Oil
Marine oil berasal dari mamalia laut
(paus) dan ikan laut. Marine oil
memiliki kandungan asam lemak tak jenuh (asam oleat) yang cukup tinggi,
sehingga harus dihidrogenasi parsial terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai
bahan baku (Fessenden, 1982).
· Castor Oil (Minyak Jarak)
Minyak
jarak berwarna bening dan dapat dimanfaatkan sebagai kosmetika, bahan baku
pembuatan biodisel dan sabun. Minyak jarak mempunyai massa jenis 0,957-0,963
kg/liter, bilangan iodium 82-88 g I2/100 g, bilangan penyabunan 176-181 mg
KOH/g. Minyak jarak mengandung komponen gliserida atau dikenal sebagai senyawa
ester. Komposisi asam lemak minyak jarak terdiri dari asam riccinoleat sebanyak
86%, asam oleat 8,5%, asam linoleat 3,5%, asam stearat 0,5-2,0%, asam
dihidroksi stearat 1-2% (Perdana, 2009).
· Olive Oil (Minyak Zaitun)
Minyak
zaitun berasal dari ekstraksi buah zaitun. Minyak zaitun dengan kualitas tinggi
memiliki warna kekuningan. Sabun yang berasal dari minyak zaitun memiliki sifat
yang keras tapi lembut bagi kulit. Zaitun secara alami mengandung beberapa
senyawa yang tak tersabunkan seperti fenol, tokoferol, sterol, pigmen, dan
squalen. Minyak zaitun juga mengandung triasilgliserol yang sebagian besar di
antaranya berupa asam lemak tidak jenuh tunggal jenis oleat. Kandungan asam
oleat tersebut dapat mencapai 55-83 persen dari total asam lemak dalam minyak
zaitun (Hui, 1996).
· Campuran Minyak dan Lemak
Industri
pembuat sabun umumnya membuat sabun yang berasal dari campuran minyak dan lemak
yang berbeda. Minyak kelapa sering dicampur dengan tallow karena memiliki sifat yang saling melengkapi. Minyak kelapa
memiliki kandungan asam laurat dan miristat yang tinggi dan dapat membuat sabun
mudah larut dan berbusa. Kandungan stearat dan dan palmitat yang tinggi dari tallow akan
memperkeras struktur sabun ( Hui, 1996).
· Minyak Kemiri
Minyak
ini adalah bahan utama yang digunakan pada percobaan ini. Kemiri adalah tumbuhan yang bijinya
dimanfaaatkan sebagai sumber minyak dan rempah-rempah. Tumbuhan ini masih sekerabat dengan singkong dan termasuk dalam suku euphorbiaceae. Minyak yang diekstrak dari
bijinya berguna dalam industri untuk
digunakan sebagai bahan campuran cat (Luthana, 2010).
Tabel 2.1
Komposisi
Kimia Minyak Kemiri
No.
|
Asam Lemak
|
Jumlah (%)
|
1.
|
Asam lemak
jenuh
|
-
|
2.
|
Asam palmitat
|
55
|
3.
|
Asam stearat
|
6,7
|
4.
|
Asam lemak tak
jenuh
|
-
|
5.
|
Asam oleat
|
10,5
|
6.
|
Asam linoleat
|
48,5
|
7.
|
Asam linolenat
|
28,5
|
Sumber :
Luthana (2010)
Tabel 2.2
Sifat
Fisika dan Kimia
No.
|
Karakteristik
|
Nilai
|
1.
|
Bilangan
penyabunan
|
188-202
|
2.
|
Bilangan asam
|
6,3-8
|
3.
|
Bilangan iod
|
136-167
|
4.
|
Bilangan
thiosinogen
|
97-107
|
5.
|
Bilangan
hidroksil
|
-
|
6.
|
Bilangan
reichert meissi
|
0,1-0,8
|
7.
|
Bilangan
polenske
|
-
|
Sumber : Luthana (2010)
Daging buah kemiri digunakan
sebagai bumbu dalam jumlah yang realtif kecil. Minyak kemiri tidak dapat dicerna karena bersifat laksatif dan biasanya
digunakan sebagai bahan dasar cat atau pernis. Minyak kemiri dapat digunakan sebagai minyak rambut dan sebagai bahan
pembatik. Minyak kemiri
mempunyai sifat-sifat khusus, dimana minyak ini mudah mengering bila dibiarkan di udara terbuka. Oleh karena itu minyak kemiri dapat digunakan sebagai minyak pengering
dalam industri minyak dan varnish (Luthana, 2010).
b.
Senyawa Alkali
Jenis
alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH, KOH, Na2CO3,
NH4OH, dan ethanolamines. NaOH merupakan alkali yang paling banyak
digunakan dalam pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam pembuatan
sabun cair karena sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3
(abu soda/natrium karbonat) merupakan alkali yang murah dan dapat menyabunkan
asam lemak, tetapi tidak dapat menyabunkan trigliserida (minyak atau lemak) (Perdana, 2009).
c.
NaOH
Dalam proses saponifikasi NaOH atau yang biasa dikenal dengan soda kaustik atau sodium
hidroksida, adalah sejenis basa logam kuastik. Natrium hidroksida terbentuk
dari oksida basa natrium oksida dilarutkan dalam air. Natrium hidroksida
membentuk larutan alkali yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air. NaOH
digunakan di berbagai macam industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam
proses produksi bubuk kayu dan kertas, tekstil, air minum, sabun dan deterjen.
Natrium hidroksida adalah basa yang paling umum digunakan dalam laboraturium
kimia.
Tabel 2.3 Karakteristik NaOH
No.
|
Titik leleh
|
318oC
|
1.
|
Titik didih
|
1390oC
|
2.
|
Densitas
|
2,1 g/cm3
|
3.
|
Massa molar
|
39,9971 g/mol
|
4.
|
Kelarutan dalam air
|
111 g/100 ml (20°C)
|
Sumber
: Perdana (2009)
2.3.2 Bahan Pendukung
Bahan baku pendukung digunakan untuk
membantu proses penyempurnaan sabun hasil saponifikasi (pegendapan sabun dan
pengambilan gliserin) sampai sabun menjadi produk yang siap dipasarkan.
Bahan-bahan tersebut adalah NaCl (garam) dan bahan-bahan aditif (Perdana, 2009).
a.
Natrium Klorida (
NaCl )
NaCl merupakan komponen
kunci dalam proses pembuatan sabun. Kandungan NaCl pada produk akhir sangat
kecil karena kandungan NaCl yang terlalu tinggi di dalam sabun dapat
memperkeras struktur sabun. NaCl yang digunakan umumnya berbentuk air garam (brine) atau padatan (kristal). NaCl
digunakan untuk memisahkan produk sabun dan gliserin. Gliserin tidak mengalami
pengendapan dalam brine karena kelarutannya yang tinggi, sedangkan sabun akan
mengendap. NaCl harus bebas dari besi, kalsium, dan magnesium agar diperoleh
sabun yang berkualitas (Perdana, 2009).
Tabel
2.4 Karakteristik NaCl
No.
|
Titik lebur
|
801oC (1074 K)
|
1.
|
Titik didih
|
1465oC (1738 K)
|
2.
|
Densitas
|
2,16
g/cm3
|
3.
|
Massa molar
|
54,88 g/mol
|
4.
|
Kelarutan dalam air
|
35,9 g/100 ml (25°C)
|
Sumber : Perdana (2009)
b.
Bahan Pendukung Lainnya
Tujuan penambahan bahan ini adalah untuk mempertinggi kualitas produk
sabun sehingga menarik konsumen. Bahan-bahan aditif tersebut antara lain : builders, fillers inert, antioksidan, pewarna,dan parfum (Luthana, 2010).
·
Builders (Bahan Pembentuk)
Builders digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral yang terlarut pada
air, sehingga bahan bahan lain yang berfungsi untuk mengikat lemak dan
membasahi permukaan dapat berkonsentrasi pada fungsi utamanya. Builder juga membantu menciptakan
kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan dapat berlangsung lebih
baik serta membantu mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas (Luthana, 2010).
·
Filler (Bahan Pengisi)
Filler (bahan pengisi) ini berfungsi sebagai pengisi dari seluruh campuran
bahan baku. Pemberian bahan ini berguna untuk memperbanyak atau memperbesar
volume. Keberadaan bahan ini dalam campuran bahan baku sabun semata mata
ditinjau dari aspek ekonomis. Pada umumnya, sebagai bahan pengisi sabun digunakan sodium
sulfat. Bahan lain yang sering digunakan sebagai bahan pengisi, yaitu tetra
sodium pyrophosphate dan sodium
sitrat. Bahan pengisi ini berwarna putih, berbentuk bubuk, dan mudah larut
dalam air (Luthana, 2010).
·
Bahan
Antioksidan
Bahan antioksidan pada sabun juga dapat
menstabilkan sabun terutama pada bau tengik atau rancid. Natrium silikat, natrium hiposulfid, dan natrium tiosulfat
diketahui dapat digunakan sebagai antioksidan. Stanous klorida juga merupakan antioksidan yang sangat kuat dan
juga dapat memutihkan sabun atau sebagai bleaching
agent.
·
Bahan Pewarna (Coloring
Agent)
Bahan ini berfungsi untuk memberikan warna
kepada sabun. Ini ditujukan agar memberikan efek yang menarik bagi konsumen
untuk mencoba sabun ataupun membeli sabun dengan warna yang menarik (Perdana, 2009).
·
Bahan
Pewangi (Fragrances)
Parfum termasuk bahan
pendukung. Keberadaaan parfum memegang peranan besar dalam hal keterkaitan
konsumen akan produk sabun. Artinya, walaupun secara kualitas sabun yang
ditawarkan bagus, tetapi bila salah memberi parfum akan berakibat fatal. Beberapa nama parfum yang digunakan dalam pembuatan sabun diantaranya bouquct deep water, alpine, dan spring flower (Perdana, 2009).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1
Bahan-Bahan yang Digunakan
1.
Minyak goreng 16 mL
2.
Minyak kemiri 16 mL
3.
Etanol 36 mL
4.
Natrium Hidroksida 2N 120 mL
5.
Larutan NaCl jenuh 120 mL
6.
Kerosen (minyak tanah)
7.
Larutan Kalsium Sulfat
8.
Phenolpthalein
3.2
Alat-Alat yang Digunakan
1.
Gelas ukur 10 mL
2.
Gelas ukur 50 mL
3.
Batang pengaduk
4.
Cawan penguap
5.
Penangas
air
6.
Tabung reaksi
7.
Kaca arloji
8.
Kertas saring
9.
Corong
buchner
10. Pompa
vakum
3.3
Prosedur Percobaan
3.3.1
Persiapan
1.
Alat dan bahan kimia yang digunakan
dipersiapkan
2.
Dibuat larutan NaOH 2N
3.3.2 Pembuatan Sabun
1.
Dimasukkan 16 mL minyak
goreng dan 16 mL minyak kemiri dan kedalam cawan penguap.
2.
Ditambahkan 36 mL
etanol dan 120
mL larutan NaOH 2N ke dalam cawan penguap sambil diaduk.
3.
Ditutup cawan penguap dengan kaca arloji.
4.
Dipanaskan campuran dalam cawan penguap pada suhu 70-80oC
sampai hilang bau dari etanol.
5.
Dinginkan
campuran dalam cawan penguap tersebut.
6.
Diamati
apa yang terjadi dalam cawan penguap.
7.
Ditambahkan
120 mL larutan NaCl jenuh kedalam cawan penguap.
8.
Diamati
apa yang terjadi.
9.
Diaduk campuran dengan baik, kemudian saring menggunakan corong buchner dan pompa vakum zat padat yang dihasilkan.
3.3.3 Uji Sifat Sabun
1.
Dimasukkan
1 mL kerosen dan 10 mL air dalam tabung reaksi.
2.
Dikocok campuran tersebut dan catat
pengamatan anda.
3.
Dimasukkan
sedikit sabun kedalam tabung reaksi yang berisi campuran kerosen dan air.
4.
Dikocok
dan catat pengamatan anda.
5.
Ditambahkan sedikit sabun dan kocok jika
tidak ada perubahan pada campuran dan catat pengamatan.
6.
Dicatat
pengaruh penambahan sabun pada campuran ini dan kerosen.
7.
Diambil tabung reaksi yang bersih, kemudian
larutkan sedikit sabun dalam 5 mL air panas.
8.
Ditambahkan 8 tetes larutan Kalsium Sulfat.
9.
Dicatat pengaruh Kalsium Sulfat terhadap air sabun.
10. Diambil
tabung reaksi yang bersih, kemudian larutkan sedikit sabun dalam 5 mL etanol.
11.
Ditambahkan
2 tetes larutan phenolpthalein.
12. Dicatat pengamatan anda.
3.4
Rangkaian
Alat
Gambar
3.1 Proses Pemanasan
Gambar 3.2 Proses Penyaringan
Keterangan :
1.
Corong buchner
2. Karet
penyambung
3. Erlenmeyer
4. Selang
masuk
5. Pompa
vakum
6. Selang
keluar
7.
Tombol power
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Praktikum
Tabel 4.1 Pembuatan Sabun
No.
|
Bahan
|
Pengamatan
|
1.
|
Minyak goreng
Minyak
kemiri dipanaskan
Etanol
NaOH
|
Campuran
berwarna hijau dan terdapat gelembung-gelembung dipermukaannya.
|
2.
|
Campuran Didinginkan
|
Campuran berwarna hijau sedikit padat
dan terdapat gelembung-gelembung kecil diatas campuran
|
3.
|
Campuran
(1) + NaCl
|
Terbentuk 3 lapisan, yaitu lapisan
minyak, bening dan sabun berwarna hijau berbentuk padatan.
|
4.
|
Campuran
(1) + NaCl dan diaduk
|
Ketiga lapisan bercampur.
|
Tabel 4.2 Sifat-sifat Sabun
No.
|
Bahan
|
Pengamatan
|
1.
|
Kerosen + Air Dikocok
|
Terbentuk 2 lapisan
:
-
Lapisan atas berupa kerosen
-
Lapisan bawah berupa air
|
2.
|
Sabun + larutan
kerosen
|
Sabun
mengendap dan terdapat 3 lapisan :
-
Lapisan bawah berupa sabun
-
Lapisan tengah berupa air
-
Lapisan atas berupa minyak
|
3.
|
Sabun + larutan
kerosen dikocok
|
Sabun menyatu
dengan minyak atau campuran menjadi homogen.
|
4.
|
Larutan sabun + air
panas
|
Tidak larut.
|
5.
|
Larutan sabun + air
panas dikocok
|
Terbentuk 2 lapisan
yang berbuih :
-
Lapisan atas berupa sabun
-
Lapisan bawah berupa air
|
6.
|
Sabun + CaSO4 dikocok
|
Terbentuk endapan
dan terdapat 3 lapisan:
-
Lapisan atas berupa busa
-
Lapisan tengah berupa air keruh
-
Lapisan bawah berupa CaSO4
|
7.
|
Sabun + etanol
|
Tidak larut (sebelum dan setelah
dikocok)
|
8.
|
Sabun + etanol + PP dikocok
|
Terdapat 2 warna :
-
Bagian bawah berwarna ungu muda
-
Bagian atas berwarna bening
|
4.2
Reaksi-Reaksi
yang Terjadi
a.
Reaksi
Saponifikasi
Gambar 4.1 Reaksi Saponifikasi
(Kirk, 1976)
b.
Reaksi
Etanol dan NaOH
Gambar 4.2
Reaksi Etanol dan NaOH (Kirk, 1976)
4.3
Pembahasan
4.3.1
Pembuatan Sabun
Seacara umum sabun dibuat dengan
mereaksikan suatu lemak atau minyak dengan larutan Natrium Hidroksida pekat. Pembuatan
sabun dilakukan dengan melarutkan 16 mL
minyak goreng dan 16 mL minyak kemiri, kemudian ditambahkan 36 ml etanol dan 120
ml Natrium Hidroksida 2N (NaOH). Penambahan etanol
berfungsi sebagai pelarut NaOH agar mudah bereaksi dengan minyak. Selain itu,
etanol mengandung gugus –OH yang bersifat basa dan CH3 sebagai asam.
Dengan pelarut inilah NaOH
dapat terlarut dan dapat bercampur dengan lemak dalam reaksi penyabunan.
Larutan kemudian
dipanaskan untuk menguapkan etanolnya, dimana suhu pemanasan yaitu sekitar 70-80oC
harus dijaga konstan karena jika suhu pemanasan diatas 80oC maka etanol
akan cepat menguap dan proses pereaksian antar minyak (trigliserida) dengan NaOH
tidak sempurna. Sedangkan jika suhu pemanasan dibawah 70oC maka
proses pereaksiannya semakin lama. Pemanasan dilakukan sampai bau alkohol hilang.
Untuk pengendapan sabun ditambahkan 120 mL NaCl jenuh. NaCl jenuh berfungsi sebagai agen pengendap,
yakni dengan menurunkan nilai kelarutan dari sabun yang telah terbentuk sehingga
sabun mengendap dan untuk melarutkan gliserol sebagai hasil samping dari reaksi
saponifikasi sehingga didapat sabun mentah. Berkurangnya kelarutan sabun ini karena
penambahan ion sejenis (common ion
effect). Kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan endapan sabun
dengan gliserol menggunakan pompa vakum.
4.3.2
Pengujian Sifat Sabun
Setelah padatan sabun didapatkan, langkah selanjutnya
menguji sifat sabun. Pengujian pertama dilakukan dengan mencampurkan 1 mL kerosen dengan 10 mL air dan dikocok. Dari hasil
campuran, terbentuk 2 lapisan, lapisan atas merupakan kerosen dan lapisan bawah
merupakan air (heterogen). Kemudian kedalam campuran kerosen dan air tersebut
ditambahkan sedikit sabun, dan dikocok. Dari hasil pengamatan diperoleh larutan
yang awalnya heterogen menjadi homoge. Dari hasil pengujian pertama ini
menunjukkan bahwa sabun memiliki sifat emulgator yang mampu mengubah air dan
kerosen menjadi larutan emulsi.
Pengujian sifat berikutnya dilakukan dengan cara melarutkan
sabun dengan 5 mL
air panas, kemudian larutan tersebut ditetesi dengan 8 tetes larutan kalsium
sulfat. Ketika sabun dilarutkan dengan air panas, maka larutan akan banyak
berbuih. Ketika larutan sabun tersebut ditetesi dengan larutan kalsium sulfat,
maka buih yang ada tadi akan menjadi sedikit. Banyak sedikitnya buih atau busa
yang dihasilkan dikarenakan tegangan permukaan yang kecil ketika sabun
dilarutkan dalam air panas. Namun, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air
sadah. Hal ini dikarenakan adanya logam Mg, Ca, di dalam air sadah yang dapat
membentuk endapan ketika bereaksi dengan sabun, sehingga sabun yang berfungsi
sebagai pengikat kotoran akan menjadi kurang efektif. Akibatnya, buih yang dihasilkan sabun yang berada
didalam air sadah menjadi sedikit.
Pengujian sifat sabun yang terakhir pada percobaan ini
dilakukan dengan melarutkan sabun dalam 5 mL etanol, kemudian larutan tersebut
ditetesi 2 tetes larutan phenolphthalein.
Larutan phenolphthalein didalam
senyawa asam tidak akan berwarna, dan akan berwarna ungu pada senyawa basa.
Ketika sabun dilarutkan dalam etanol, larutan menjadi bening dan sabunnya
larut. Ketika larutan tersebut ditetesi dengan larutan phenolphthalein, tidak terjadi perubahan pada larutan secara
langsung, dan larutan berubah menjadi warna ungu muda.
BAB V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
1. Sabun
dapat dibuat dengan reaksi saponifikasi, dengan mereaksikan minyak atau lemak
dengan alkali (basa) yang digunakan etanol sebagai pelarut dan melalui proses
pemanasan dengan gliserol sebagai hasil samping.
2. Penambahan
NaCl jenuh mempermudah pengendapan sabun karena adanya ion sejenis.
3.
Sabun bersifat emulgator, karena sabun dapat menurunkan tegangan
antarmuka antara minyak dan air, sehingga dapat menyatukan larutan air dengan
minyak.
4.
Sabun tidak bekerja pada air sadah, karena pada air sadah sabun tidak
menghasilkan busa.
5. Sabun
bersifat basa, karena berwarna ungu muda dengan pengujian menggunakan indikator
phenolphtalein.
5.2
Saran
1. Pembuatan larutan NaOH harus terhitung dengan teliti dan
benar.
2.
Praktikan harus mengenakan alat standar
keamanan labor seperti masker dan sarung tangan.
3.
Praktikan harus mengetahui sifat dari
zat-zat yang digunakan sebelum melakukan praktikum.
4.
Praktikan harus berhati-hati dalam
menggunakan alat.
5.
Konsentrasi bahan harus tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar