BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Asetanilida merupakan
senyawa turunan asetil amina aromatis yang digolongkan sebagai amida primer,
dimana satu atom hidrogen pada anilin digantikan dengan satu gugus asetil. Asetinilida berbentuk
butiran berwarna putih tidak larut dalam minyak parafin dan larut dalam air
dengan bantuan kloral anhidrat. Asetanilida
pertama kali ditemukan oleh Friedel Kraft pada tahun 1872 dengan cara
mereaksikan asethopenon dengan NH2OH sehingga terbentuk asetophenon oxime yang kemudian dengan
bantuan katalis dapat diubah menjadi asetanilida. Pada tahun 1899 Beckmand
menemukan asetanilida dari reaksi antara benzilsianida dan H2O
dengan katalis HCl. Pada tahun 1905 Weaker menemukan asetanilida dari anilin
dan asam asetat (Anwar, 2009).
Asetanilida atau yang
sering disebut phenilasetamida mempunyai
rumus molekul C6H5NHCOCH3 dan berat molekul
135,16 dibuat dengan proses kristalisasi antara anilin dan asam asetat glasial.
Kristalisasi adalah pemisahan bahan padat berbentuk kristal dari suatu larutan
atau lelehan. Asetanilida digunakan sebagai bahan baku obat-obatan, Sebagai
bahan baku pembuatan obat-obatan, Sebagai zat awal pembuatan penicilium, bahan pembantu dalam
industri cat dan karet, dan Bahan intermediet pada sulfon dan asetilklorida. Melihat banyaknya kegunaan asetanilida, karena
itulah dilakukan praktikum pembuatan asetanilida dalam skala labor untuk
mengamati reaksi yang terjadi dalam proses pembuatan asetanilida tersebut (Anwar,
2009).
1.2 Tujuan
Praktikum
Adapun tujuan dari
percobaan yang dilakukan yaitu :
·
Mempelajari
dan memahami pembuatan asetanilida skala labor
·
Mempelajari
reaksi asilasi
·
Menghitung
berat asetanilida yang dihasilkan, persentase rendemen, dan kadar air
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan Dasar Pembuatan Asetanilida
Secara
teoritis anilin dan asam asetat glasial dapat digunakan dalam pembuatan
asetanilida. Meskipun
demikian, ada
beberapa faktor yang mempertimbangkan dalam memilih bahan mentah untuk
pembuatan asetanilida. Beberapa
bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan asetanilida antara lain (Pramushinta, 2011).
2.1.1 Anilin
Anilin merupakan senyawa organik dengan komposisi C6H7N yang termasuk kedalam senyawa aromatik, dengan bantuan anilin dapat menjadi bahan konduktor dengan nilai konduktivitas tertentu. Panjang gelombang maksimal anilin adalah 230 nm. Hal ini disebabkan oleh NH2 yang berinteraksi dengan elektron, cincin untuk meningkatkan densitas elektron di keseluruhan cincin, terutama pada posisi orto dan para dari cincin. Anilin merupakan bahan kimia yang dapat dibuat dari beberapa macam cara dan bahan, serta dapat digunakan untuk membuat berbagai macam produk kimia. Didalam era industrialisasi saat ini anilin mempunyai peranan penting dan banyak digunakan sebagai zat pewarna dan karet sintetis dalam dunia industri (Anwar, 2009).
2.1.2 Sifat
Fisika dan Kimia Anilin
Table 2.1 Sifat
Fisika Anilin
Rumus molekul
|
C6H5NH2
|
Berat
molekul
|
93,12
g/gmol
|
Titik
didih normal
|
184,4 oC
|
Suhu
kritis
|
426 oC
|
Tekanan
kritis
|
54,4
atm
|
Wujud
|
Cair
|
Sumber :Anwar (2009)
Sifat-sifat
kimia anilin
·
Halogenasi
senyawa anilin dengan brom dalam larutan sangat encer menghasilkan endapan 2,
4, 6 tribromo anilin.
·
Pemanasan
anilin hipoklorid dengan senyawa anilin sedkit berlebih pada tekanan sampai 6
atm menghasilkan senyawa diphenilamine.
·
Hidrogenasi
katalitik pada fase cair pada suhu 135-170 0C dan tekanan 50-500
atm menghasilkan 80% cyclohexamine (C6H11NH2).
·
Sedangkan
hidrogenasi anilin pada fase uap dengan menggunakan katalis nikel menghasilkan
95% cyclohexamine.
·
Nitrasi
anilin dengan asam nitrat pada suhu -20 0C menghasilkan
mononitroanilin, dan nitrasi anilin dengan nitrogen oksida cair pada suhu 0 0C menghasilkan 2,4
dinitrophenol (Safrizal, 2013).
2.1.3 Proses Pembuatan Anilin
|
Gambar 2.1
Proses Pembentukan
Anilin (Austin, 2008).
Proses pembuatan anilin dapat
dilakukan melalui berbagai macam proses antara lain :
1.
Aminasi Chlorobenzen
Pada proses aminasi chlorobenzen menggunakan zat pereaksi
amonia cair, dalam fasa cair dengan katalis Tembaga Oksidasi yang dipanaskan akan menghasilkan 85- 90 %
anilin. Sedangkan katalis yang aktif untuk reaksi ini adalah Tembaga Klorida
yang terbentuk dari hasil reaksi samping ammonium klorida dengan Tembaga
Oksidasi. Mula-mula amonia cair dimasukkan ke dalam mixer dan pada saat bersamaan chlorobenzen dimasukkan pula, tekanan
di dalam mixer adalah 200 atm. Dari mixer
campuran chlorobenzen dengan amonia dilewatkan ke reaktor dengan suhu reaksi
235 °C dan tekanan 200 atm.
Pada reaksi ini ammonia cair yang digunakan berlebihan. Dengan menggunakan katalis tertentu,
reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
C6H5Cl + 2 NH3
===> C6H5NH2+ NH4Cl……………………………………………….(1)
Pada proses aminasi chlorobenzen, hasil yang diperoleh
berupa nitro anilin dengan yield yang
dihasilkan adalah 96 % (Fesenden, 1999).
2. Reduksi
Nitrobenzen
a. Reduksi fasa cair
Untuk fasa cair, nitrobenzen direduksi dengan hidrogen dalam
suasana asam (HCl) serta adanya iron boring, dengan suhu sekitar 135 - 170 °C
dan tekanan antara 50 - 500 atm, dimana asam ini akan mengikat oksigen sehingga
akan terbentuk air, dengan bantuan katalis Fe2O3
reaksinya sebagai berikut :
4 C6H5NO2 + 11 H2
===> 4 C6H5NH2
+ 8 H2O……………………………………(2)
Proses reduksi dalam fasa cair sudah tidak digunakan lagi
karena tekanan yang digunakan tinggi sehingga kurang effisien dari segi
ekonomis dan teknis. Yield yang
dihasilkan adalah 95 % (Fesenden, 1999).
b. Reduksi fasa gas
Proses pembuatan anilin dari reduksi nitrobenzen dalam fasa
gas, sebagai pereduksi adalah gas hidrogen dan untuk mempercepat reaksi dibantu
dengan katalisator Nikel Oksida, reaksinya sebagai berikut :
C6H5NO2
+ 3 H2 ===> C6H5NH2 + 2H2O……………………………………………..(3)
Pada proses reduksi fasa gas dengan
suhu didalam reaktor sekitar 275 - 350 °C dan tekanan 1,4 atm, reaksi yang
terjadi adalah reaksi eksotermis karena mengeluarkan panas. Yield yang
dihasilkan pada proses ini adalah 98 % dan kemurnian dari hasil (anilin)
yang tinggi ini (99 %) mengakibatkan anilin dari segi komersial dapat
digunakan (Fesenden, 1999).
2.1.4 Sejarah Anilin
Anilin pertama kali
diisolasi dari distilasi pada tahun 1826 oleh Otto Unverdorben, yang menamainya
kristal. Pada tahun 1834, Friedrich Runge, terisolasi dari tar batubara zat
yang menghasilkan warna biru yang indah pada klorida kapur, yang bernama kyanol
atau cyanol.
Pada tahun 1841, CJ Fritzsche menunjukkan bahwa, dengan memperlakukan dengan
potas api, itu menghasilkan minyak, yang ia beri nama anilina, dari nama
spesifik dari salah satu menghasilkan tanaman nila, dari Portugis anil, dari
bahasa Arab an- nihil "nila" asimilasi dari al-nihil, dari nila
Persia. Tentang waktu yang sama NN Zinin menemukan bahwa, untuk mengurangi
nitrobenzena, dasar terbentuk yang ia
beri nama benzidam.
Agustus Wilhelm von Hofmann menyelidiki zat
tersebut dengan berbagai cara, dan terbukti mereka menjadi identik (1855), dan
sejak itu mereka mengambil tempat mereka sebagai satu tubuh, dengan nama atau
Fenilamin anilin. Penemuan
ungu muda tahun 1856 oleh William Henry Perkin adalah yang pertama dari
serangkaian-serangkaian luas pengolahan bahan celup, seperti fuchsine,
safranine dan induline. Itu
industri skala digunakan pertama dalam pembuatan mauveine, sebuah ungu pewarna
ditemukan pada 1856 oleh Hofmann siswa William Henry Perkin. Pada saat itu
penemuan mauveine, anilin merupakan senyawa laboratorium mahal, tapi segera
disiapkan menggunakan proses yang sebelumnya ditemukan oleh Antoine Béchamp.
Industri pewarna sintetis tumbuh pesat sebagai pewarna anilin baru berbasis
ditemukan di tahun 1850-an dan 1860-an (Kirk, 1981).
2.1.5 Asam Asetat Glasial
Asam asetat atau asam
cuka adalah senyawa organik yang mengandung gugus asam karboksilat, yang
dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan.Asam cuka memiliki
rumus empiris C2H4O2, dan rumus molekul CH3COOH. Asam asetat merupakan
salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format.Larutan asam
asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya
hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat termasuk
ke dalam golongan asam karboksilat dengan rumus molekul CH3COOH,
berwujud cairan kental jernih atau padatan mengkilap, dengan bau tajam khas
cuka, titik leburnya 16,7 °C, dan titik didihnya 118,5°
C (Safrizal,2013).
Senyawa
murninya dinamakan asam etanoat glasial. Dibuat dengan
mengoksidasi etanol atau dengan mengoksidasi butana
dengan bantuan mangan (II) atau kobalt (II) etanoat larut pada suhu 200°C. Asam asetat digunakan
dalam pembuatan anhidrida etanoat untuk menghasilkan selulosa etanoat (untuk
polivinil asetat). Senyawa
ini juga dapat dibuat dari fermentasi alkohol,
dijumpai dalam cuka makan yang dibuat dari hasil fermentasi bir, anggur atau
air kelapa. Beberapa
jenis cuka makan dibuat dengan menambahkan zat warna (Safrizal, 2009).
2.1.6 Sifat Fisika dan Kimia Asam Asetat Glasial
Table 2.2 Sifat-Sifat
Fisik Asam Asetat Glasial
Rumus
molekul
|
CH3COOH
|
Massa
molar
|
60.05
g/mol
|
Densitas
dan fase
|
1.049
g cm−3, cairan 1.266 g cm−
|
Titik
lebur
|
16.5
°C (289.6 ± 0.5 K) (61.6 °F)
|
Titik
didih
|
118.1
°C (391.2 ± 0.6 K) (244.5 °F)
|
Penampilan
|
Cairan
tak berwarna atau Kristal
|
Keasaman
|
4.76 pada 25°C
|
Sumber : Anwar (2009)
Sifat-sifat kima asam
asetat glasial
·
Asam asetat bersifat korosif terhadap banyak logam seperti besi, magnesium, dan seng, membentuk gas hidrogen dan garam-garam asetat
(disebut logam asetat).
·
Logam asetat juga dapat diperoleh dengan reaksi asam asetat
dengan suatu basa.Contohnya adalah soda kue
(Natrium
bikarbonat) bereaksi dengan cuka.Hampir semua garam asetat larut dengan
baik dalam air. Contoh reaksi pembentukan garam asetat:
·
Asam
asetat mengalami reaksi-reaksiasam karboksilat, misalnya menghasilkan garam
asetat bila bereaksi dengan alkali, menghasilkan logam etanoat bila
bereaksi dengan logam, dan menghasilkan logam etanoat, air dan karbondioksida
bila bereaksi dengan garam karbonat atau bikarbonat.
·
Reaksi
organik yang paling terkenal dari asam asetat adalah pembentukan etanol
melalui reduksi, pembentukan turunan
asam karboksilat
seperti asetil
klorida atau anhidrida asetat melalui substitusi
nukleofilik
(Fessenden,1999).
2.1.7 Reaksi Pembuatan Asam Asetat Glasial
1. Karbonilasi metanol
Kebanyakan asam asetat murni
dihasilkan melalui karbonilasi. Dalam reaksi ini, metanol dan karbon
monoksida bereaksi menghasilkan asam asetat
Proses ini melibatkan iodometana sebagai zat antara, dimana reaksi itu
sendiri terjadi dalam tiga tahap dengan katalis logam kompleks pada tahap kedua.
CH3COI
+ H2O → CH3COOH + HI……………………………………………………(7)
Jika kondisi reaksi diatas diatur
sedemikian rupa, proses tersebut juga dapat menghasilkan anhidrida
asetat sebagai hasil tambahan. Karbonilasi metanol sejak lama
merupakan metode paling menjanjikan dalam produksi asam asetat karena baik
metanol maupun karbon monoksida merupakan bahan mentah komoditi. Henry
Dreyfus mengembangkan cikal bakal pabrik karbonilasi metanol pada perusahaan Celanese pada tahun 1925. Namun, kurangnya
bahan-bahan praktis yang dapat diisi bahan-bahan korosif dari reaksi ini pada tekanan yang dibutuhkan yaitu 200
atm menyebabkan metoda ini ditinggalkan untuk tujuan komersial (Anwar, 2009).
Baru pada
1963 pabrik komersial pertama yang menggunakan karbonilasi metanol didirikan
oleh perusahaan kimia Jerman, BASF dengan katalis kobalt (Co). Pada 1968,
ditemukan katalis kompleks Rhodium, cis−[Rh(CO)2I2]−
yang dapat beroperasi dengan optimal pada tekanan rendah tanpa produk
sampingan. Pabrik pertama yang menggunakan katalis tersebut adalah perusahan
kimia AS Monsanto pada 1970, dan metode
karbonilasi metanol berkatalis Rhodium dinamakan proses Monsanto dan menjadi metode
produksi asam asetat paling dominan. Pada akhir 1990-an, perusahan petrokimia British Petroleum mengkomersialisasi
katalis Cativa ([Ir(CO)2I2]−) yang didukung
oleh ruthenium. Proses berbasis iridium ini lebih efisien dan
lebih "hijau"(ramah lingkungan) dari metode sebelumnya, sehingga
menggantikan proses Monsanto (Anwar, 2009).
2. Oksidasi Asetaldehida
Sebelum komersialisasi proses
Monsanto, kebanyakan asam asetat diproduksi melalui oksidasi asetaldehida. Sekarang oksidasi
asetaldehida merupakan metoda produksi asam asetat kedua terpenting, sekalipun
tidak kompetitif bila dibandingkan dengan metode karbonilasi metanol. Asetaldehida yang
digunakan dihasilkan melalui oksidasi butana atau nafta ringan, atau hidrasi dari etilena. Saat butena atau nafta
ringan dipanaskan bersama udara disertai dengan beberapa ion logam, termasuk ion mangan, kobalt dan kromium, terbentuk peroksida yang selanjutnya terurai
menjadi asam asetat sesuai dengan persamaan reaksi dibawah ini.
Umumnya reaksi ini dijalankan pada temperatur dan tekanan sedemikian rupa sehingga
tercapai suhu setinggi mungkin namun butana masih berwujud cair. Kondisi reaksi
pada umumnya sekitar 150 °C dan 55 atm. Produk sampingan seperti butanon, etil asetat, asam format dan asam propionat juga mungkin terbentuk. Produk
sampingan ini juga bernilai komersial dan jika diinginkan kondisi reaksi dapat
diubah untuk menghasilkan lebih banyak produk samping, namun pemisahannya dari
asam asetat menjadi kendala karena membutuhkan biaya lebih banyak lagi (Pramushinta,2011).
Melalui kondisi dan katalis yang sama asetaldehida
dapat dioksidasi oleh oksigenudara menghasilkan asam asetat.
Dengan menggunakan katalis
modern, reaksi ini dapat memiliki rasio hasil (yield) lebih besar dari
95%. Produk samping utamanya adalah etil asetat, asam format dan formaldehida, semuanya memiliki titik didih yang lebih rendah
daripada asam asetat sehingga dapat dipisahkan dengan mudah melalui distilasi
(Pramushinta,2011).
2.1.8 Sejarah Asam Asetat Glasial
Cuka telah dikenal manusia sejak dahulu
kala. Cuka dihasilkan oleh berbagai bakteri
penghasil
asam asetat, dan asam asetat merupakan hasil samping dari pembuatan bir atau anggur. Penggunaan asam asetat
sebagai pereaksi kimia juga sudah dimulai sejak lama.
Pada abat ke-3 Sebelum Masehi, Filsuf Yunani kuno Theophrastos menjelaskan bahwa cuka
bereaksi dengan logam-logam membentuk berbagai zat warna, misalnya timbal putih (timbal
karbonat), dan verdigris, yaitu suatu zat hijau
campuran dari garam-garam tembaga dan mengandung tembaga
(II) asetat. Bangsa Romawi menghasilkan sapa, sebuah sirup yang amat manis, dengan mendidihkan anggur
yang sudah asam. Sapa mengandung timbal asetat, suatu zat manis yang
disebut juga gula timbal dan gula Saturnus. Akhirnya hal ini
berlanjut kepada peracunan dengan timbal yang dilakukan oleh para pejabat
Romawi (Nadya,2008).
Pada abad
ke-8, ilmuwan Persia Jabir ibn Hayyan menghasilkan asam asetat pekat dari cuka melalui distilasi. Pada masa renaisans, asam asetat glasial
dihasilkan dari distilasi kering logam asetat. Pada abad ke-16 ahli kimia Jerman Andreas Libavius menjelaskan prosedur
tersebut, dan membandingkan asam asetat glasial yang dihasilkan terhadap cuka. Ternyata asam asetat
glasial memiliki banyak perbedaan sifat dengan larutan asam asetat dalam air,
sehingga banyak ahli kimia yang mempercayai bahwa keduanya sebenarnya adalah
dua zat yang berbeda. Ahli kimiaPrancisPierre Adet akhirnya membuktikan
bahwa kedua zat ini sebenarnya sama (Synyster,2006).
Pada
1847 kimiawan Jerman Hermann
Kolbesintesis asam asetat dari zat anorganik untuk pertama kalinya.
Reaksi kimia yang dilakukan adalah klorinasikarbon disulfida menjadi karbon
tetraklorida, diikuti dengan pirolisis menjadi tetrakloroetilena dan klorinasi dalam air
menjadi asam
trikloroasetat, dan akhirnya reduksi melalui elektrolisis menjadi asam asetat.Sejak
1910 kebanyakan asam asetat
dihasilkan dari cairan piroligneous yang diperoleh dari distilasi kayu. Cairan ini direaksikan
dengan kalsium
hidroksida menghasilkan kalsium asetat yang kemudian diasamkan
dengan asam sulfat menghasilkan asam asetat
(Priyatmono,2008).
2.2 Bahan Pendukung
2.2.1 Aquades
Aquades adalah air
hasil destilasi/penyulingan sama dengan air murni atau H2O, kerena H2O
hampir tidak mengandung mineral. Sedangkan air mineral adalah pelarut yang
universal. Oleh
karena itu air dengan mudah menyerap atau melarutkan berbagai partikel yang
ditemuinya dan dengan mudah menjadi tercemar. Dalam siklusnya di
dalam tanah, air terus bertemu dan melarutkan berbagai mineral anorganik, logam
berat dan mikroorganisme. Jadi,
air mineral bukan aquades (H2O) karena mengandung banyak mineral
(Anwar, 2009).
2.2.2
Etanol
Etanol
disebut juga etil alkohol, alkohol murni adalah sejenis cairan yang mudah
menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Etanol memiliki sifat fisis dan kimia
sebagai berikut (Anwar, 2009) :
Tabel
2.3
Sifat - Sifat Fisika Etanol
Molekul
formula
|
C2H5OH
|
Kelarutan
|
Larut
|
Molekul berat
|
46,0414
|
Spesifik
gravity/kepadatan
|
0,790 @200C
|
Bentuk
|
cairan bening
|
Sumber : Anwar (2009)
Sifat-sifat
kimia :
·
Stabilitas
kimia : stabil dibawah suhu normal dan tekanan
·
Kondisi
yang dihindari : bahan non-kompatibel, sumber pengapian, panas berlebih,
oksidasi.
·
Kompatibel
dengan bahan lain : oksidator kuat, asam, logam alkali, ammonia, hidrazin,
proksida, natrium, anhididra asam, kalsium hipoklorit, klorida chromyl,
perklorat nitrosyl, pentafluoride bromin
2.3 Sintesis Asetanilida
2.3.1 Reaksi Pembuatan Asetanilida
1. Pembuatan asetanilida dari
asam asetat anhidrid dan anilin
Larutan
benzene dalam satu bagian anilin dan 1,4 bagian asam asetat anhidrad direfluk
dalam sebuah kolom yang dilengkapi dengan jaket sampai tidak ada anilin yang
tersisa.
C6H5NH2
+ (CH3CO)2O
C6H5NHCOCH3 + CH3COOH………………………..(12)
Campuran
reaksi disaring, kemudian kristal dipisahkan dari air panasnya dngan
pendinginan, sedangkan filtratnya direcycle
kembali. Pemakaian asam asetatanhidrad dapat diganti dengan asetil klorida.
2. Pembuatan
asetanilida dari asam asetat dan anilin
Metode ini
merupakan metode awal yang masih digunakan karena lebih ekonomis.Anilin dan
asam asetat berlebih 100 % direaksikan dalam sebuah tangki yang dilengkapi
dengan pengaduk.
C6H5NH2
+ CH3COOH C6H5NHCOCH3
+ H2O………………………………(13)
Reaksi berlangsung selama
6 jam pada suhu 150oC – 160oC. Produk dalam keadaan panas
dikristalisasi dengan menggunakan kristalizer (Austin, 2008).
3. Pembuatan
asetanilida dari ketena dan anilin
Ketena (gas) dicampur kedalam anilin di bawah
kondisi yang diperkenankan akan menghasilkan
asetanilida.
C6H5NH2
+ H2C=C=O C6H5NHCOCH…………….…………………………(14)
4.
Pembuatan asetanilida dari asam thioasetat dan anilin
Asam thioasetat direaksikan dengan anilin dalam keadaan dingin
akan menghasilkan asetanilida dengan membebaskan H2S.
C6H5NH2
+ CH3COSH C6H5NHCOCH3 + H2S……………………………..(15)
2.3.2 Rekristalisasi
Rekristalisasi
merupakan proses pengulangan kristalisasi agar di peroleh zat murni atau
kristal yang lebih murni. Rekristalisasi didasarkan pada perbedaan kelarutan
senyawa dalam suatu pelarut tunggal atau campuran. Senyawa ini dapat dimurnikan
dengan cara rekristalisasi menggunakan pelarut yang sesuai (Synyster, 2010).
1.
Melarutkan senyawa yang akan dimurnikan ke dalam pelarut yang sesuai atau dekat
titik didihnya.
2.
Menyaring larutan panas dari molekul atau partikel
tidak larut.
3. Biarkan larutan panas menjadi
dingin hingga terbentuk kristal.
4.
Memisahkan kristal dari larutan
berair.
Syarat untuk
rekristalisasi adalah menggunakan pelarut, dimana pelarut yang dipakai harus
dapat melarutkan kristal tersebut. Pelarut adalah suatu zat yang
mengandung beberapa bahan (material) yang digunakan untuk melarutkan bahan
(material) lainnya. Pelarut,
terutama pelarut organik mempunyai potensi bahaya terhadap kesehatan,
produktifitas, dan efisiensi di lingkungan kerja atau industri. Pelarut diklasifikasikan
menjadi dua (Pramushinta, 2011) yaitu :
1.
Pelarut aquades (Pelarut Air)
Dasar dari pelarut
jenis ini adalah air. Sebagai
contoh larutan asam, larutan basa dan deterjen yang dilarutkan di dalam air. Umumnya sistem pelarut
air memiliki tekanan uap yang rendah pada suhu kamar sehingga bahaya potensial
oleh penghirupan dan sistemik toxicity
tidak besar.
Contoh dari pelarut
air adalah asam-asam organik biasa seperti hidrogen halida (HF, HCl, HI, dan
HBr), asam-asam oksigen seperti nitrat/HNO3, fosfat/H3PO4,
dan sulfat/H2SO4, dan lain-lain seperti hidrogen
sulfida/H2S, dan hidrogen sianida/HCN.
Pengaruh pelarut ini
bagi kesehatan berubah-ubah sesuai dengan konsentrasinya. Hal yang sering
terjadi yaitu kontak terhadap jaringan tubuh termasuk iritasi (mucous membrane) selaput lendir atau
saluran pernapasan. Seperti
iritasi yang disebabkan oleh oksidasi HCl dan dehidrasi oleh H2SO4,
HCN, dan H2S. Asam-asam
tersebut sangat beracun dengan akibat yang berbeda dibanding dengan asam lainnya. Asam tersebut dapat
membentuk senyawa kompleks dengan logam yang ada dalam enzyme (Cytochrome) yang dapat mencegah terjadinya metabolisme
oksigen dalam sel (Pudjaatmaka, 1992).
2.
Pelarut
Non Aqueous (Pelarut Organik)
Pelarut
organik sangat berbahaya bagi kesehatan karena pelarut organik adalah pelarut
yang mengandung bahan kimia yang dapat menguap dengan cepat di udara dan
menghasilkan kadar uap yang tinggi pada keadaan tertentu. Bahaya terhadap
kesehatan yang ditimbulkan oleh pelarut organik tidak hanya ditentukan oleh
sifat-sifatnya yang khusus atau karakteristik pelarut, namun juga ditentukan
oleh cara-cara penggunaannya. Pelarut
organik mempunyai sifat yang sebagian besarnya dapat menyebabkan hilangnya
kesadaran (Pudjaatmaka,
1992).
2.4 Asetanilida
Asetanilida
merupakan senyawa turunan asetil amina aromatis yang digolongkan sebagai amida
primer, dimana satu atom hidrogen pada anilin digantikan dengan satu gugus
asetil. Asetinilida berbentuk butiran berwarna putih (kristal) tidak larut
dalam minyak parafin dan larut dalam air dengan bantuan kloral anhidrat.
Asetanilida atau sering disebut phenilasetamida mempunyai rumus molekul C6H5NHCOCH3
dan berat molekul 135,16 g/gmol (Nadya, 2008).
Gambar 2.2 Asetanilida
(Priyatmono,
2008)
Asetanilida pertama kali ditemukan oleh
Friedel Kraft pada tahun 1872 dengan cara mereaksikan asethopenon dengan NH2OH
sehingga terbentuk asetophenon oxime yang kemudian dengan bantuan katalis dapat
diubah menjadi asetanilida. Pada tahun 1899 Beckmand menemukan asetanilida dari
reaksi antara benzilsianida dan H2O dengan katalis HCl. Lalu, pada
tahun 1905 Weaker menemukan asetanilida dari anilin dan asam asetat (Nadya,
2008).
2.4.1 Reaksi Asilasi dan Asetilasi
Sebuah asil merupakan alkil yang
terikat pada ikatan rangkap oksigen dan karbon. Jika R mewakili alkil,
maka asil mempunyai formula.
Gambar
2.3 Gugus Asil (Pudjaatmaka, 1992).
Asil yang
umum dipakai adalah CH3CO-. Ini
disebut sebagai etanoil. Dalam kimia, asilasi (secara formal, namun jarang
digunakan: alkanoilasi) adalah
proses adisi gugus asil ke
sebuah senyawa. Senyawa yang menyediakan gugus asil disebut sebagai agen pengasil.Asil halida sering
digunakan sebagai agen pengasil karena dapat membentuk elektrofil yang
kuat ketika diberikan beberapa logam katalis. Sebagai
contoh pada asilasi Friedel-Crafts menggunakan asetil klorida, CH3COCl, sebagai agen dan
aluminium klorida (AlCl3) sebagai katalis untuk adisi gugus asetil ke benzena
(Pramushinta, 2011).
Gambar
2.4 Contoh Reaksi Asilasi (Pudjaatmaka, 1992).
Asil halida dan anhidridaasam karboksilat juga sering digunakan sebagai
agen pengasil untuk mengasilasi amina menjadi amida atau mengasilasi alkohol menjadi ester. Dalam hal ini, amina dan
alkohol adalah nukleofil; mekanismenya adalah
adisi-eliminasi nukleofilik. Asam suksinat juga umumnya digunakan pada beberapa
tipe asilasi yang secara khusus disebut suksinasi. Oversuksinasi terjadi ketika lebih dari
satu suksinat diadisi ke sebuah senyawa tunggal. Contoh industri asilasi
adalah sintesis aspirin, di mana asam
salisilat diasilasi oleh asetat anhidrida (Pudjaatmaka, 1992).
Reaksi acetylasi merupakan suatu reaksi memasukkan gugus acetyl kedalam suatu subtrat yang
sesuai.
Gambar 2.5 Gugus Asetil (Pudjaatmaka,
1992).
Gugus acetyl adalah R – C – OO’ (dimana R = alkil atau aril). Asam
Salisilat merupakan senyawa turunan Asam benzoat yang dikenal juga dengan nama asam orto-hidroksi benzoat. Perbedaan Reaksi Asilasi
dan Asetilasi adalah pada senyawa yang disutitusi pada senyawa, pada reaksi asilasi yang
di substitusikan adalah gugus asil, sedangkan pada asetilasi yang direaksikan
adalah gugus asetil (Pudjaatmaka, 1992).
2.4.2
Sifat Fisika dan Kimia Asetanilida
Tabel 2.4 Sifat –
sifat Fisika Asetanilida
Rumus Molekul
|
C6H5NHCOCH3
|
Berat Molekul
|
135,16 g/gmol
|
Titik Didih Normal
|
305oC
|
Berat Jenis
|
1,21 gr/ml
|
Titik Kristalisasi
|
113-60oC (1 atm)
|
Wujud
|
Padat
|
Warna
|
Putih
|
Sumber : Nadya (2008)
Sifat – sifat kimia
asetanilida (Nadya, 2008) :
1. Pirolisa dari asetanilida menghasilkan
N–diphenil urea, anilin, benzen dan asam hidrosianik.
2.
Asetanilida merupakan bahan ringan yang stabil dibawah kondisi biasa, hydrolisa
dengan alkali cair atau dengan larutan asam mineral cair dalam kedaan panas akan
kembali ke bentuk semula.
3. Adisi sodium dlam larutan panas Asetanilida
didalam xilena menghasilkan C6H5NH2.
2.4.3 Kegunaan Produk Asetanilida
Asetanilida banyak digunakan
dalam industri kimia antara lain (Nadya,
2008) :
a. Sebagai
bahan baku pembuatan obat-obatan.
b. Sebagai
zat awal pembuatan penicilium.
c. Bahan
pembantu dalam industri cat dan karet.
d. Bahan
intermediet pada sulfon dan asetilklorida
2.5
Mekanisme
Reaksi Anilin dan
Asam Asetat Glasial
Gambar 2.6 Reaksi
Anilin dan Asam Asetat Glasial (Fessenden, 1999)
Sintesis
asetanilida sebagai suatu amida adalah merupakan suatu reaksi substitusi Nukleofilik
(SN) Asil (addition/elimination)
diantara anilin. Anilin
bersifat sebagai nukleofil, dan gugus Asil dari asam asetat bersifat
elektrofil. Mula
– mula anilin bereaksi dengan asam asetat membentuk suatu amida dalam keadaan
transisi, kemudian diikuti dengan reduksi H2O membentuk asetanilida. Substitusi aromatik
elektrofilik adalah reaksi organik dimana sebuak atom, biasanya hidrogen, yang
terikat pada sistem aromatis diganti dengan elektrofil. Reaksi terpenting di
kelas ini adalah nitrasi aromatik, halogenasi aromatik, sulfonasi aromatik dan
asilasi dan alkilasi reaksi Friedel-Craft (Fessenden, 1999).
2.6 Rendemen
Rendemen merupakan sebuah istilah dalam bidang studi
kimia. Rendemen menggambarkan ketidakpastian hasil reaksi, dimana hasilnya
selalu lebih rendah dari pada perhitungan matematis. Rendemen relatif yang
digunakan sebagai perhitungan efektivitas prosedur, dihitung dengan membagi
jumlah produk yang didapat dalam mol dengan rendemen teoritis dalam mol :
.....................................................
(7.1)
Untuk
mendapatkan rendemen persentase, kalikan rendemen fraksional dengan 100%. Nilai
rendemen kimia yang ideal adalah 100%, sebuah nilai yang sangat tidak mungkin
dicapai pada prakteknya (Austin, 2008).
2.7 Kadar Air
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu benda yang
dapat dinyatakan berdasarkan berat basah atau berat kering. Air yang terdapat
dalam suatu bahan terdapat dalam 3 bentuk, yaitu (Nadya, 2008) :
1. Air basah, terdapat dalam ruang-ruang antar
sel dan integranular dan pori-pori yang terdapat pada bahan.
2. Air yang
terikat secara lemah karena terserap pada permukaan koloid makromolekular
seperti protein, pati dan selulosa. Selain itu air juga terdispersi diantara
koloid tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada didalam sel. Air yang
ada dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat
dikristalisasi pada proses pembekuan.
3. Air yang dalam keadaan terikat kuat yaitu
membentuk hidrat. Ikatannya bersifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan
atau diuapkan. Air ini membeku meskipun pada suhu 00C.
.........................................................
(7.2)
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1
Bahan
1.
Anilin
2.
Asam asetat glasial
3.
Etanol
4.
Aquades
3.2
Alat-alat
1.
Batang
pengaduk
2.
Cawan
Penguap
3.
Corong
Buchner
4.
Erlenmeyer
250 ml
5.
Gelas
ukur 5 ml
6.
Kertas
saring
7.
Labu
didih dasar datar
8.
Penangas
air
9.
Pipet
tetes
10.
Pompa
vaccum
11.
Termometer
12.
Timbangan
analitik
3.3 Prosedur Percobaan
1.
10
ml anilin dan 19 ml asam asetat glasial dimasukkan ke dalam labu didih dasar
datar
2.
Kemudian
di panaskan menggunakan penangas air selama 2 jam pada suhu 85-95 0C
3.
Larutan
didinginkan pada suhu kamar selama 5 menit
4.
Kemudian
didinginkan menggunakan es selama 5 menit
5.
Larutan
diencerkan dengan 75 ml akuades, sehingga terbentuk asetanilida berupa kristal
6.
Selanjutnya
didinginkan selama 1,5 jam
7.
Kertas
saring ditimbang terlebih dahulu
8.
Jika
pembentukan kristal telah sempurna, disaring menggunakan pompa vakum
9.
Hasil
yang didapat ditimbang
10.
Kemudian
direkristalisasi dengan 25 ml etanol panas dan 25 ml akuades panas
11.
Kristal
yang terbentuk disaring lagi dengan vakum, kemudian ditimbang berat basahnya setelah
itu, di oven.
12.
Kemudian
dihitung rendemen dan kadar air yang didapat.
3.4 Rangkaian Alat
|
1
2
|
Gambar 3.1 Labu didih dasar
bulat dan penangas air
|
3
|
Gambar 3.2 Pompa Vakum
|
Keterangan :
1. Labu didih dasar datar
2. Penangas air
3. Corong Buchner
4. Erlenmeyer
|
4
|
BAB IV
HASIL PRAKTIKUM
4.1
Hasil Praktikum
Data yang didapat dalam praktikum asetanilida (C6H5NHCOCH3) adalah sebagai berikut :
a.
Berat asetanilida kering : 3,426 gram
b.
Bentuk :
Kristal
c.
Warna : Putih kecoklatan
d.
Rendemen : 23,07 %
e.
Kadar air :
4,46 %
4.2
Pembahasan
Reaksi
asilasi merupakan suatu reaksi memasukkan gugus asil kedalam suatu substrat
yang sesuai. Sebuah
asil merupakan alkil yang terikat pada ikatan rangkap oksigen dan karbon.
Asetanilida dapat dihasilkan dari reaksi antara asam asetat glasial dan anilin.
Asetanilida berbentuk butiran berwarna putih, sering disebut phenilasetamida.
Pada percobaan ini asetanilida
dibuat dengan cara mereaksikan 10 ml anilin dengan 19 ml asam asetat glasial. Anilin
berfungsi sebagai reaktan sedangkan asam asetat glasial berfungsi sebagai
pelarut. Campuran larutan menghasilkan
panas dan bewarna coklat. Selanjutnya larutan ini dipanaskan dalam penangas air
selama 2 jam, yang bertujuan agar larutan terlarut sempurna dan
mempercepat reaksi yang terjadi. Panas
yang ditimbulkan dari campuran reaksi ini dikarenakan adanya reaksi eksoternis
yaitu panas dilepaskan dari sistem kelingkungan sehingga larutan harus
didinginkan pada suhu kamar terlebih dahulu selama 5 menit sambil diaduk
sempurna. Campuran yang terbentuk kemudian diencerkan dengan 75 ml akuades
sehingga terbentuk asetanilida berupa kristal dengan pengendapan pengotor.
Selanjutnya disaring dengan pompa vakum. Prinsip
kerja dari pompa
vakum yaitu pertama, menggunakan cara mekanis untuk mengekspansi volume secara
terus-menerus. Kedua, menggunakan system jet fluida kecepatan tinggi untuk
menghisap gas dari sebuah ruang tertutup. Ketiga,
menggunakn suatu zat padat tertentu untuk mengikat gas di dalam ruang tertutup. Sehingga didapat
berat asetanilida
sebesar 6,052 gram. Asetanilida yang didapat
kemudian di rekristalisasi dengan 25 ml etanol dan air panas. Selanjutnya
didinginkan dengan batu es selama beberapa menit untuk membentuk
endapan berupa Kristal. Etanol panas berperan untuk
melarutkan dan mempercepat proses kelarutan sedangkan air berperan untuk
mengkristalkan. Etanol dan aquades dipanaskan bertujuan untuk meningkatkan
kelarutan, jika kelarutan berbeda maka Ksp akan berbeda, perbedaan Ksp inilah
yang membuat asetanilida jadi mengendap
didasar labu didih (Mawarni, 2013).
Hasil rekristalisasi asetanilida ditimbang dan
didapat berat basah sebesar 4,713 gram. Selanjutnya kristal asetanilida basah
tersebut di oven untuk menghilangkan kadar air dari kristal asetanilida dan
didapat berat asetanilida kering sebesar 3,426 gram. Dengan rendemen 23,07 %, kadar
air 4,46 %. Rendemen yang didapatkan dipengaruhi oleh waktu pemanasan kurang
lama, menyebabkan berkurangnya nilai rendemen.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
1.
Reaksi
asilasi adalah proses pemasukan gugus asil kedalam substrat yang sesuai.
2.
Asetanilida
dapat dibuat dari reaksi asilasi antara anilin dengan asetat glasial.
3.
Kristalisasi
adalah pemisahan bahan padat berbentuk kristal dari suatu larutan atau
lelehan.
4.
Berat
asetanilida yang diperoleh dari percobaan ini yaitu 3,426 gram, dengan rendemen
sebesar 23,07% dan kadar air 4,46%
4.2
Saran
1.
Pastikan
bahan-bahan yang digunakan sesuai dengan yang diharapkan agar hasil maksimum
dapat diperoleh.
2.
Pengukuran
bahan maupun produk harus dilakukan dengan teliti, sehingga perhitungan data
dapat dilakukan dengan akurat.
3.
Proses
rekristalisasi perlu dilakukan berulang-ulang apabila kristal yang didapat
belum murni.
4.
Sebaiknya
sebelum rekristalisasi, asetanilida yang sudah disaring dengan pompa vakum
harus kering.
5.
Gunakan
kertas sarimg yang memiliki kualitas bagus agar proses penyaringan mendapatkan
hasil yang lebih bagus
DAFTAR PUSTAKA
Austin, 2008,"Shreve’s Chemical
Process Industries", 5th ed, McGraw-Hill Book Co, Singapura.
Fessenden dan Fessenden, 1999,"Kimia Organik Jilid 1 dan 2, Edisi ke 3", Erlangga, Jakarta.
Irdoni
dan Nirwana,2012,"Modul Kimia
Organik ",halaman 77, Tesis,
Fakultas Teknik Universitas Riau.
Kirk
dan Othmer, 1981,"Rekristalisasi",http://www.chemistry.org/materi_kimia/
rekristalisasi/.com, Diakses 26April 2015.
Priyatmono,
2008,"Asetanilidakimia",http://www. chemistry.wordpress.com,
Diakses 25April 2015.
Pudjaatmaka, A.H, 1992," Kimia Untuk Universitas Jilid
2", Erlangga, Jakarta
Pramushinta, 2011,"Pembuatan
Asetanilida ", http://www.Pembuatan Asetanilida, Inuyashaku'sBlog.html, Diakses pada 26 April 2015.
Synyster,
2006,"Sintesis Asetanilida",http://www.scribd.com/doc/54194580/Laporan-Resmi-Asetanilida,
Diakses 26 April
2015.
LAMPIRAN
B
PERHITUNGAN
1.
Pengkristalan asetanilida
A.
Anilin
(C6H5NH2)
ρ =
m = V x ρ
= 10 ml
x 1,02 gram/ml
= 10,2
gram
n =
=
=
0,11 mmol
B. Asam asetat glasial (CH3COOH)
ρ =
m = V x ρ
= 19 ml
x 1,05 gram/ml
= 19,95
gram
n =
=
= 0,33 mmol
C6H5NH2 + CH3COOH → C6H5NHCOCH3+ H2O
M 0,11 0,33 - -
R 0,11 0,11 0,11 0,11
S
- 0,22 0,11 0,11
n =
m = n . Mr
= 0,11 .
135
=
14,85 gram
·
Berat asetanilida basah = (berat asetanilida basah - kertas saring )
= (5,79
gram - 1,077 gram)
= 4,713 gram
·
Berat asetanilida kering = berat asetanilida kering - kertas saring
1. 5,297gram
- 1,077 gram = 4,22 gram
2. 4,842gram-1,077 gram = 3,765 gram
3. 4,625gram-
1,077 gram = 3,548 gram
4. 4,503gram-1,077 gram = 3,426 gram
2.
Rendemen Dan Kadar Air
a.
% Rendemen =
x 100%
=
x100
= 23,07 %
b. %
Kadar air =
x 100%
=
x 100%
=
4,46 %
LAMPIRAN C
Gambar C.2 Proses
Kristalisasi
|
Gambar C.1 Proses Pemanasan
|
Gambar C.4 Pemanasan
Methanol dan aquades
|
Gambar C.3 Proses
Penyaringan dengan Vakum
|
Gambar C.5 Hasil Asetanilida
|
Kak hasil yg rendaman itu yg anilin kan ada rumus N.rumusnya itu apa.bingung kk
BalasHapus