Rabu, 26 Agustus 2015

SHAMPO



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dengan meningkatnya perkembangan motor dan mobil menyebabkan munculnya kebutuhan baru yaitu produk baru yang dapat merawat dan membersihkan secara efektif dan efisien dan tentunya bahan yang digunakan tidak boleh sembarangan karena harus dapat melindungi cat motor/mobil agar tidak rusak. Shampo motor yang terbuat dari deterjen sangat banyak digunakan oleh masyarakat dewasa ini. Hal ini dikarenakan oleh perubahan kebiasaan masyarakat dalam memilah produk yang bagus untuk kebutuhan hariannya termasuk shampo motor.
Motor mempunyai perawatan tersendiri termasuk kebersihannya. Untuk kebersihan motor diperlukan shampo yang khusus karena jenis pengotor pada motor tersebut berbeda dengan yang lain. Shampo motor dirancang khusus oleh pabrik supaya dapat membersihkan zat pengotor berupa oli tetapi tidak merusak bodi dari motor tersebut. Untuk itu perlu dibuat shampo motor sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Shampo yang bagus kualitasnya adalah shampo yang memiliki surfaktan yang bagus pula. Oleh karena itu, permintaan surfaktan di dunia internasional cukup besar. Pada tahun 2004, permintaan surfaktan sebesar 11,82 juta ton per tahun dan pertumbuhan permintaan surfaktan rata-rata 3 persen per tahun (Zulfikar,2011).

1.2  Tujuan Percobaan
a.    Mempelajari cara pembuatan shampo motor atau mobil.
b.    Menentukan karakteristik shampo motor atau mobil dan bagaimana kinerjanya.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1     Surfaktan
2.1.1 Pengertian Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktivitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian nonpolar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antarmuka udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, Sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil (Salanger,J.L, 2002).
Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaikkan dan menurunkan tegangan permukaan. Tegangan permukaan (surface tension) adalah gaya dalam dyne yang bekerja pada permukaan sepanjang 1 cm dan dinyatakan dalam dyne/cm, atau energi yang diperlukan untuk memperbesar permukaan atau antarmuka sebesar 1 cm2 dan dinyatakan dalam erg/cm2. Surface tension umumnya terjadi antara gas dan cairan sedangkan Interface tension umumnya terjadi antara cairan dan cairan lainnya atau kadang antara padat dan zat lainnya (namun hal ini belum diteliti).
Beberapa kegunaan surfaktan antara lain yaitu : deterjen, pelembut kain, pengemulsi, cat, adesif, tinta, anti–fogging, remidiasi tanah,  pendispersi, pembasah, ski wax dan snowboard wax, daur ulang kertas, pengapungan, pencuci, zat busa, penghilang busa, laxatives, formula agrokimia, herbisida dan insektisida, coating, sanitasi, sampo, pelembut rambut, spermicide, pemipaan pemadam kebakaran, pendeteksi kebocoran, dan lain-lain (Prayetno, 2008).
2.1.2 Klasifikasi Surfaktan
Sifat dari pada zat aktif permukaan bergantung pada macamnya gugus hidrofil, yang dapat dibagi sebagai berikut :
a.    Surfaktan anionik
Surfaktan anionik merupakan surfaktan dengan bagian aktif pada permukaannya mengandung muatan negatif. Kelemahan surfaktan anionik adalah sensitif terhadap adanya mineral dan perubahan PH. Contoh dari jenis surfaktan anionik adalah Linier Alkyl Benzene Sulfonat (LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES),Alpha Olefin Sulfonat (AOS).
Gambar 2.1 Surfaktan Anionik (Bailey, 1996).
b.    Surfaktan kationik
Surfaktan ini merupakan surfaktan dengan bagian aktif pada permukaannya mengandung muatan positif. Surfaktan ini terionisasi dalam air serta bagian aktif pada permukaannya adalah bagian kationnya. Surfaktan kationik banyak digunakan sebagai bahan antikorosi, antistatik, flotation collector, pelunak kain, kondisioner. Contoh jenis surfaktan ini adalah ammonium kuarterner. Kelemahan surfaktan jenis ini adalah tidak memiliki kemampuan deterjensi bila diformulasikan kedalam larutan alkali (Setiawan,2009).
Gambar 2.2 Surfaktan Kationik (Bailey, 1996)
c.    Surfaktan nonionik
Surfaktan yang tidak terionisasi di dalam air adalah surfaktan nonionik yaitu surfaktan dengan bagian aktif permukaanya tidak mengandung muatan apapun, contohnya : alkohol etoksilat, polioksietilen (R-OCH2CH) (Marrakchi, 2006).
Gambar 2.3 Surfaktan Nonionik (Bailey, 1996)
d.   Surfaktan ampoterik
Surfaktan ini dapat bersifat sebagai nonionik, kationik, dan anionik di dalam larutan, jadi surfaktan ini mengandung muatan negatif maupun muatan positif pada bagian aktif pada permukaannya. Contohnya: Sulfobetain (RN+(CH3)2CH2CH2SO3- (Zulfikar, 2011).
Gambar 2.4 Surfaktan Ampoterik (Bailey, 1996)
2.2    Cara Surfaktan Menghilangkan Noda
Kebanyakan kotoran pada pakaian melekat sebagai lapisan tipis minyak. Jika lapisan minyak ini dapat disingkirkan, berarti partikel kotoran itu dapat dicuci. Molekul sabun terdiri dari rantai hidrokarbon yang panjang. Rantai karbon bersifat lipofilik (tidak suka air) dan hidrofilik (suka air). Bila sabun dikocok dengan air akan membentuk dispersi koloid, bukannya larutan sejati. Larutan sabun mengandung agregat molekul sabun yang disebut dengan misel. Rantai karbon nonpolar atau lipofilik atau tidak suka air mengarah kebagian pusat misel dan pada bagian yang polar mengarah pada permukaan misel (Salanger, 2002).
        Dalam kerjanya untuk menyingkirkan kotoran, molekul sabun mengelilingi dan mengemulsi butiran minyak atau lemak. Ekor lipofilik dari molekul sabun melarutkan minyak. Ujung hidrofilik dan butiran minyak menjulur ke arah air. Dengan cara ini butiran minyak terstabilkan dalam larutan air sebab muatan permukaan yang negatif dari butiran minyak mencegah penggabungan (koalesensi). Sifat menonjol lain dari sabun ialah tegangan permukaan yang sangat rendah yang menjadikan larutan sabun lebih memiliki daya pembasahan dibandingkan air saja. Akibatnya sabun termasuk golongan zat yang disebut surfaktan. Gabungan dari daya pengemulsi dan kerja permukaan dari larutan sabun memungkinkan untuk melepas kotoran dari permukaan yang sedang dibersihkan dan mengemulsikannya sehingga kotoran itu tercuci bersama air (Prayetno, 2008).
Pada aplikasinya sebagai bahan pembersih untuk material kain, tanah dan sejenisnya, surfaktan dapat bekerja melalui tiga cara yang berbeda, yakni roll up, emulsifikasi dan solubilisasi.
a.    Roll up
Pada mekanisme ini, surfaktan bekerja dengan menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dengan kain atau material lain yang terjadi dalam larutan berair.
b.    Emulsifikasi
Pada mekanisme ini surfaktan menurunkan tegangan antarmuka minyak-larutan dan menyebabkan proses emulsifikasi terjadi (Bailey, 1996).
c.    Solubilisasi
Melalui interaksi dengan misel dari surfaktan dalam air (pelarut), senyawa secara simultan terlarut dan membentuk larutan yang stabil dan jernih. Mekanisme roll up dan emulsifikasi terdapat pada Gambar 2.2.1
Gambar 2.5 Mekanisme kerja surfaktan (a) roll up dan (b) emulsifikasi
Surfaktan dengan HLB rendah lebih mudah larut dalam minyak sedangkan surfaktan dengan HLB tinggi lebih larut dalam air (Setiawan,2009).

2.3    Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan zat cair adalah kecenderungan permukaan zat cair untuk meregang permukaannya. Nampak seolah dilapisi oleh suatu lapisan. Yang menjadi penyebab utama adanya tegangan permukaan adalah gaya kohesi (gaya tarik menarik molekul sejenis) dari fluida atau zat cair. Setiap molekul zat cair saling menarik molekul  disekitar mereka. Gaya  tarik-menarik ini memicu adanya  ikatan yang cukup kuat antarmolekul (Zulfikar, 2011).
Ada beberapa metode dalam melakukan tegangan permukaan:
1.    Metode kenaikan kapiler
Tegangan permukaan diukur dengan melihat ketinggian air/cairan yang naik melalui suatu kapiler. Metode kenaikan kapiler hanya dapat digunakan untuk mengukur tegangan permukaan tidak bisa untuk mengukur tegangan permukaan tidak bisa untuk mengukur tegangan antarmuka (Kentdan Riegels, 2007).
2.    Metode tersiometer Du-Nouy
Metode cincin Du-Nouy bisa digunakan untuk mengukur tegangan permukaan ataupun tegangan antarmuka. Prinsip dari alat ini adalah gaya yang diperlukan untuk melepaskan suatu cincin platina iridium yang diperlukan sebanding dengan tegangan permukaan atau tegangan antarmuka dari cairan tersebut.
Pada dasarnya tegangan permukaan suatu zat cair dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu dan zat terlarut. Dimana keberadaan zat terlarut dalam suatu cairan akan mempengaruhi besarnya tegangan permukaan terutama molekul zat yang berada pada permukaan cairan berbentuk lapisan monomolekular yang disebut dngan molekul surfaktan (Salanger,2002).
Faktor-faktor yang menpengaruhi tegangan permukaan:
1.    Suhu
Tegangan permukaan menurun dengan meningkatnya suhu, karena meningkatnya energi kinetik molekul.
2.    Zat terlarut
Keberadaan zat terlarut dalam suatu cairan akan mempengaruhi tegangan permukaan. Penambahan zat terlarut akan meningkatkan viskositas larutan, sehingga tegangan permukaan akan bertambah besar. Tetapi apabila zat yang berada dipermukaan cairan membentuk lapisan monomolekular, maka akan menurunkan tegangan permukaan, zat tersebut biasa disebut dengan surfaktan (Fessenden,1997).
3.    Surfaktan
Surfaktan (surface active agents), zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan atau antarmuka. Surfaktan mempunyai orientasi yang jelas sehingga cenderung pada rantai lurus. Shampo merupakan salah satu contoh dari surfaktan (Fessenden, 1997).

2.4  Linear Alkyl Benzene Sulfonate (LABS)
Alkylbenzene merupakan bahan baku dasar untuk membuat Linear Alkyl benzene sulfonate. Linear alkyl benzene sulfonate disebut juga dengan nama acid slurry. Acid slurry merupakan bahan baku kunci dalam pembuatan serbuk deterjen sintetik dan deterjen cair. Alkyl benzene disulfonasi menggunakan asam sulfat, oleum atau SO3. Linear Alkylbenzene sulfonate diperoleh dengan variasi proses yang berbeda pada bahan yang aktif, bebas asam, warna maupun viskositas. Bahan baku utama untuk membuat acid slurry adalah dodecyl benzene, linear alkyl benzene. Nama Kimia Acid Slurry D.D.B.S adalah Dodecyl Benzene Sulphonate dan L.A.B.S dan Linear Alkyl Benzene Sulphonate (Kirk, 1976).


 
Gambar 2.6 Struktur LABS (Salanger, 2002)
Alkylbenzene Sulfonates (ABS) merupakan bahan baku kunci pada industri deterjen selama lebih dari 40 tahun dan berjumlah kira-kira 50% volume total surfaktan anionik sintetik. Linear alkylbenzene Sulfonates (LABS) digunakan secara luas menggantikan Branch alkylbenzene sulfonates (BAB) dalam jumlah besar yang ada didunia karena LAS merupakan bahan deterjen yang lebih biodegradabilitas dibandingkan BAB. Produk umumnya dipasarkan berupa asam bebas (free acid) seperti sodium hidroksida yang ditambahkan kedalam slurry, yang umumnya dalam bentuk pasta. Sebagian besar pasta di produksi pada sprayed-dried menghasilkan serbuk deterjen. Pasta bisa juga di proses dengan drum-dried menjadi serbuk atau flake menjadi butir-butir halus yang memiliki densitas rendah. Bentuk kering LAS digunakan terutama pada industri dan produk kebersihan (Kent dan Riegels, 2007).
Agar berguna sebagai surfaktan, pertama Alkylbenzene harus disulfonasi. Untuk proses sulfonasi biasanya digunakan Oleum dan SO3. Sulfonasi dengan oleum memerlukan biaya peralatan yang relatif tidak mahal dan bisa dijalankan dengan proses batch atau continuous. Bagaimanapun juga memiliki kerugian dalam terminologi dibandingkan harga SO3, sulfonasi dengan oleum memerlukan aliran pembuangan sisa asam dan ia juga memberikan masalah korosipotensial yang disebabkan oleh asam sulfat (Kent dan Riegels, 2007).
2.4.1 Sifat Fisika dan Kimia LABS
Adapun sifat fisika dari LABS, sebagai berikut : (Kirk dan Othmer, 1976)
1.      Rumus molekul                    : C12H25C6H5
2.      Berat molekul                      : 246,435 Kg/kmol
3.      Titik didih                            : 327,61 OC
4.      Titik leleh                             : 2,78 OC
5.      Densitas                               : 855,065 Kg/m3
6.      Wujud                                  : Cair
7.      Energi panas pembentukan  : 1787,0 KJ/mol
8.      Kapasitas panas                   : 750,6 Kkal/kmol OC
Sedangkan sifat kimia dari LABS, sebagai berikut :
1.        Sangat larut dalam air
2.        Bersifat sebagai surfaktan, dan berbusa

2.5  Sodium Lauril Sulfat (SLS)
Sodium lauril sulfat (SLS), atau natrium deodecil sulfat (NaDS atau C12H25SO4Na) adalah surfaktan anionoik yang digunakan dalam membersihkan lemak dan pada produk-produk untuk kebersihan. Molekul ini memiliki 12 atom karbon, yang melekat pada gugus sulfat dan memberikan sifat amphiphilic yang dibutuhkan deterjen. SLS adalah surfaktan yang sangat efektif dan digunakan untuk menghilangkan noda berminyak dan residu. Sebagai contoh, SLS ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada produk industri, termasuk degreasers mesin, pembersih lantai, shampo mobil. Penggunaan SLS dengan konsentrasi yang lebih rendah yaitu pada pembuatan pasta gigi, shampo rambut, dan busa cukur. Sodium lauril sulfat merupakan komponen penting dalam formulasi untuk efek penebalan busa dan kemampuannya untuk menciptakan busa (Marrakchi dan Maibach, 2006).


 
Gambar 2.7 Struktur SLS (Marrakchi dan Maibach, 2006)
Penelitian menunjukkan bahwa SLS tidak karsinogenik jika terkontaminasi langsung pada kulit ataupun dikonsumsi. Natrium lauril sulfat mengurangi rasa manis pada gigi, efek biasa terlihat setelah penggunaan pasta gigi yang mengandung bahan ini. Penelitian menunjukkan bahwa SLS dapat merupakan mikrobisida topikal yang berpotensi efektif, yang juga dapat menghambat dan  mencegah infeksi oleh virus seperti virus Herpes simpleks. Selain itu SLS dapat meningkatkan kecepatan pembentukan hidrat metana sebesar 700 kali kecepatan awal. Dalam pengobatan, natrium lauril sulfat digunakan sebagai pencahar dubur di enema dan sebagai eksipien pada aspirin terlarut dan kaplet terapi serat lainnya (Marrakchi dan Maibach, 2006).
Natrium lauril sulfat dalam sains disebut sebagai sodium dodecyl sulfat (SDS), umumnya digunakan dalam menyusun protein untuk elektroforesis dalam teknik SDS-PAGE. Senyawa ini bekerja denganmengganggu ikatan nonkovalen dalam protein, sehingga protein mengalami denaturing dan menyebabkan molekul kehilangan bentuk asli mereka (konformasi). SLS disintesis dengan mereaksikan lauril alkohol dengan asam sulfat untuk menghasilkan hidrogen lauril sulfat yang kemudian dinetralisir melalui penambahan natrium karbonat. Karena metode ini sintesis, SLS komersial yang tersedia sebenarnya tidak sulfat dodesil murni tetapi campuran alkil sulfat dengan sulfatdodesil sebagai komponen utama.SLS dapat memperburuk masalah kulit pada individu dengan hipersensitivitas kulit kronis (Marrakchi dan Maibach, 2006).
        Dalam aplikasinya SLS ini banyak ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada produk-produk industri seperti pembersih mesin (engine degreaser), pembersih lantai, dan shampo mobil. SLS digunakan dalam kadar rendah di dalam pasta gigi, shampo dan busa pencukur.
        SLS berpotensi untuk digunakan sebagai anti bakterial dan juga untuk mencegah infeksi oleh virus seperti Herpes dan HIV.
        Belakangan ini telah ditemukan bahwa pada aplikasi sebagai surfaktan pada pembentukan reaksi gas hydrate atau methane hydrate, SLS dapat mempercepat reaksi hingga 700 kali lebih cepat (Marrakchi dan Maibach, 2006).
Sifat-sifat umum SLS adalah sebagai berikut :
1.             Merupakan surfaktan anionik sebesar 68%-73%
2.             Memiliki pH sebesar 7.0-9.0
3.             Mengandung sodium sulfat sebesar 1 %
4.             Mengandung sodium klorida sebesar 0.1 %
5.             Mengandung dioksan sebesar 30 ppm
6.             Merupakan pasta berwarna kuning transparan

2.6  NaOH
Natrium hidroksida (NaOH) juga dikenal sebagai soda kaustik atau sodium hidroksida, adalah sejenis basa logam kaustik. Natrium hidroksida terbentuk dari oksida basa Natrium Oksida dilarutkan dalam air. Natrium hidroksida membentuk larutan alkalin yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air, digunakan di berbagai macam bidang industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan kertas, tekstil, air minum, sabun dan deterjen. Natrium hidroksida adalah basa yang paling umum digunakan dalam laboratorium kimia (Bailey, 1996).
Natrium hidroksida murni berbentuk putih padat dan tersedia dalam bentuk pelet, serpihan, butiran ataupun larutan jenuh 50% yang biasa disebut larutan sorensen. Ia bersifat lembap cair dan secara spontan menyerap karbon dioksida dari udara bebas. Ia sangat larut dalam air dan akan melepaskan panas ketika dilarutkan, karena pada proses pelarutannya dalam air bereaksi secara eksotermis. Ia juga larut dalam etanol dan metanol, walaupun kelarutan NaOH dalam kedua cairan ini lebih kecil daripada kelarutan KOH. Tidak larut dalam dietil eter dan pelarut non-polar lainnya. Larutan natrium hidroksida akan meninggalkan noda kuning pada kain dan kertas (Kirk dan Othmer, 1976).
2.6.1 Sifat Fisika dan Kimia Natrium Hidroksida
Tabel 2.1 Sifat Fisika dan Kimia NaOH
Sifat Fisika
Sifat Kimia
Bentuk : padat
Rumus molekul : NaOH
Warna : putih
Merupakan basa kuat dan sangat larut dalam air
Densitas : 1,40775 g/cm³
Titik leleh : 318°C (591°K)
Titik didih : 1390°C (1663°K)
Massa molar : 39,9971 g/mol
(Sumber: Kirk dan Othmer, 1976)
2.7    Akuades
Akuades adalah air hasil destilasi/penyulingan sama dengan air murni atau H2O, karena H2O hampir tidak mengandung mineral. Sedangkan air mineral adalah pelarut yang universal. Oleh karena itu air dengan mudah menyerap atau melarutkan berbagai partikel yang ditemuinya dan dengan mudah menjadi tercemar. Dalam siklusnya di dalam tanah, air terus bertemu dan melarutkan berbagai mineral anorganik, logam berat dan mikroorganisme. Jadi, air mineral bukan akuades (H2O) karena mengandung banyak mineral (Fessenden, 1999).

2.8    Viskositas
Viskositas adalah gesekan internal fluida. Gaya viskos melawan gerakan sebagian fluida relatif terhadap yang lain. Viskositas akan mempengaruhi kerja shampo. Shampo yang terlalu kental akan memperlambat reaksi penyabunan pada kotoran, sehingga terpecahnya emulsi pada larutan sehingga fasenya tidak homogen dan apabila terlalu encer maka akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Faktor yang mempengaruhi viskositas :
a.    Besar dan Bentuk Molekul
Molekul-molekul yang mudah berasosiasi mempunyai viskositas yang besar, seperti air dan etanol. Zat ini membentuk asosiasi molekul dengan ikatan hidrogen. Makin besar berat molekul, makin besar pula viskositas.
b.    Suhu
Pada kebanyakan cairan viskositasnya turun dengan naiknya suhu. Menurut teori ”lubang” terdapat kekosongan dalam cairan dan molekul bergerak secara kontinyu ke dalam kekosongan ini, sehingga kekosongan akan bergerak keliling. Proses ini menyebabkan aliran, tetapi memerlukan energi karena ada energi pengaktifan yang harus mempunyai suatu molekul agar dapat bergerak ke dalam kekosongan. Energi pengaktifan lebih mungkin terdapat pada suhu yang lebih tinggi dan dengan demikian cairan lebih mudah mengali (Kirk dan Othmer, 1976).
c.    Tekanan
Viskositas cairan naik dengan bertambahnya tekanan. Hal ini disebabkan jumlah lubang berkurang, sehingga bagi molekul lebih sukar untuk bergerak keliling satu terhadap yang lain.
d.   Konsentrasi
Untuk suatu larutan viskositasnya bergantung pada konsentrasi atau kepekatan larutan. Umumnya larutan yang konsentrasinya tinggi, viskositasnya juga tinggi, sebaliknya larutan yang viskositasnya rendah, konsentrasinya juga rendah (Kirk dan Othmer, 1976).
2.9    Densitas
Massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda. Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap volumenya. Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi dengan total volumenya. Sebuah benda yang memiliki massa jenis lebih tinggi (misalnya besi) akan memiliki volume yang lebih rendah daripada benda bermassa sama yang memiliki massa jenis lebih rendah (misalnya air). Massa jenis berfungsi untuk menentukan zat. Setiap zat memiliki massa jenis yang berbeda. Rumus untuk menentukan massa jenis adalah
ρ = m/v   …………….................................................................(1)
Dimana:           ρ    = densitas (g/ml)
M   = massa (g)
V   = volume (ml)

Nilai massa jenis suatu zat adalah tetap, tidak tergantung pada massa maupun volume zat, tetapi tergantung pada jenis zatnya, oleh karenanya zat yang sejenis selalu mempunyai masssa jenis yang sama. Massa jenis zat dapat dihitung dengan membandingkan massa zat (benda) dengan volumenya. Massa jenis merupakan salah satu ciri untuk mengetahui kerapatan zat. Pada volume yang sama, semakin rapat zatnya, semakin besar massanya. Sebaliknya makin renggang, makin kecil massa suatu benda. Contoh : kubus yang terbuat dari besi akan lebih besar massanya dibandingkan dengan kubus yang terbuat dari kayu, jika volumenya sama. Pada massa yang sama, semakin rapat zatnya, semakin kecil volumenya. Sebaliknya, semakin renggang kerapatannya semakin besar volumenya.Contoh : volume air lebih besar dibanding volume besi, jika massa kedua benda tersebut sama (Prayetno, 2008).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1         Alat-alat yang digunakan
1.    Wadah plastik
2.    Spatula
3.    Pipet tetes
4.    Timbangan analitik
5.    Botol 350 ml
6.    Viskometer Oswald
7.    Gelas Ukur 100 ml
8.    Cawan Petri
9.    Gelas Piala 500 ml
10.  Batang Pengaduk
11.  Piknometer 10 ml
3.2         Bahan-bahan
1.    LABS ( Linear Alkil Benzen Sulfonat) 40 gr
2.    SLS (Sodium Linear Sulfonat)8 gr
3.    NaOH 1 N 15 gr
4.    Aquades 48 ml
5.    Parfum
6.    Pewarna makanan
7.    Shampo komersial (KIT)
3.3        Prosedur percobaan
3.3.1   Pembuatan LABSNa
1.    LABS 40 gram ditimbang ke dalam gelas piala
2.    NaOH ditimbang dari larutan NaOH 1 N sebanyak 15 gram
3.    NaOH dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam wadah yang berisi larutan LABS dan aquades sambil diaduk hingga homogen
4.    Larutan yang telah diaduk tersebut merupakan larutan LABSNa
3.3.2   Pembuatan Larutan SLS
1.    SLS sebanyak 8 gram ditimbang ke dalam cawan petri
2.    Lalu dimasukkan 48 ml aquades ke dalam gelas piala
3.    SLS dan aquades dicampur dan diaduk hingga homogen
4.    Parfum dan pewarna dicampurkan ke dalam larutan SLS
3.3.3   Pembuatan Shampo
1.    Larutan SLS dan larutan LABSNa diaduk hingga homogen.
2.    Kemudian dimasukkan ke dalam botol
3.3.4   Uji Viskositas
1.    Siapkan viskometer Ostwald
2.    Sampo dimasukkan ke dalam viskometer Ostwald
3.    Sedot sampai batas viscometer Ostwald
4.    Hitung waktu yang dibutuhkan sampo untuk turun ke bawah dan catat hasilnya
5.    Lakukan juga pada KIT dan bandingkan hasilnya
3.3.5   Uji Densitas
1.    Piknometer yang kosong ditimbang
2.    Catat massa piknometer
3.    Lalu shampo dimasukkan  ke dalam piknometer sampai penuh
4.    Berat piknometer dan shampo ditimbang
5.    Berat jenis shampo dihitung dengan cara : berat piknometer dan shampo yang telah ditimbang lalu dikurangi dengan berat piknometer kosong lalu dibagi dengan volume piknometer
6.    Lakukan pada KIT sesuai prosedur diatas
3.3.6   Tes Aplikasi
1.    Lumuri tangan dengan minyak
2.    Kemudian tetes shampo ke tangan, dibilas dan cuci dengan air bersih
3.    Catat waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan tangan
4.    Amati kebersihan tangan setelah dicuci dengan shampo
5.                  Kemudian lakukan tes aplikasi kembali menggunakan shampo KIT dan bandingkan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1    Hasil dan Perhitungan
Tabel 4.1 Hasil Pengamatan

No.
Percobaan
Pengamatan

1.

NaOH 1 N 15 gr
Wujud cair dan berwarna bening
2.

LABS 40 gr
                                           LABSNa
NaOH 1 N 15 gr
NaOH 1 N 40 gr, larutan menjadi berwarna bening, dituangkan ke LABS menjadi coklat bening.  Disini terjadi reaksi eksoterm.
3.
SLS 8 gr
Aquadest 48 ml
Pewarna                          Dicampurkan
Parfum

Wujud cairan, warna hijau tua
4

LABSNa
Dicampurkan
Larutan SLS
Shampo, bewarna hijau lumut. Lebih kental dari SLS

4.2    Pembahasan
4.2.1   NaOH
Natrium hidroksida (NaOH), yang biasa dikenal sebagai soda api atau sodium hidroksida merupakan suatu jenis basa logam kaustik. Natrium Hidroksida terbentuk dari oksida basa Natrium Oksida dilarutkan dalam air. Natrium hidroksida membentuk larutan alkalin yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air. Ia digunakan di berbagai macam bidang industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan kertastekstilair minumsabun dan deterjen. Natrium hidroksida adalah basa yang paling umum digunakan dalam laboratorium kimia. Natrium hidroksida murni berbentuk putih padat dan tersedia dalam bentuk pelet, serpihan, butiran ataupun larutan jenuh 50% yang biasa disebut larutan Sorensen.Ia bersifat lembab cair dan secara spontan menyerap karbon dioksida dari udara bebas. Ia sangat larut dalam air dan akan melepaskan panas ketika dilarutkan, karena pada proses pelarutannya dalam air bereaksi secara eksotermis (Fessenden, 1997).
4.2.2   LABS
Alkylbenzene merupakan bahan baku dasar untuk membuat Linear Alkyl benzene sulfonate. Linear alkylbenzene sulfonate disebut juga dengan nama acid slurry. Acid slurry merupakan bahan baku kunci dalam pembuatan serbuk deterjen sintetik dan deterjen cair. Alkylbenzene disulponasi menggunakan asam sulfat, oleum atau SO3(g). Linear Alkylbenzene sulfonate diperoleh dengan variasi proses yang berbeda pada bahan yang aktif, bebas asam, warna maupun viskositas. Bahan baku utama untuk membuat acid slurry adalah dodecyl benzene, linear alkyl benzene. Nama Kimia Acid Slurry D.D.B.S. adalah Dodecyl Benzene Sulphonate dan L.A.B.S dan Linear Alkyl Benzene Sulphonate.LABS merupakan komponen utama yang digunakan dalam pembuatan shampo sesuai dengan penjelasan diatas.(Fessenden, 1997)
4.2.3   LABSNa
Pada reaksi pembuatan larutan LABSNa terjadi reaksi eksoterm.SLS dapat menyatu dengan air dan pada saat pengadukan dapat menghasilkan busa. Reaksi eksoterm adalah reaksi yang menyebabkan adanya transfer kalor dari sistem ke lingkungan. Hasil shampo didapat kental dari sampel yaitu shampo KIT karena perbandingan komposisi antara NaOH, LABS, dan SLS tidak seimbang. Dalam percobaan pembuatan shampoo ini tidak boleh terjadi pembusaan karena busa dapat mengurangi volume shampo (Fessenden, 1997).
4.2.4   SLS
Sodium lauril sulfat (SLS), atau sodium deodecil sulfat (NaDS atau C12H25SO4Na) adalah surfaktan anionoik yang digunakan dalam membersihkan lemak, dan pada produk-produk untuk kebersihan. Molekul ini memiliki 12 atom karbon, yang melekat pada gugus sulfat, dan memberikan sifat amphiphilic yang dibutuhkan deterjen. SLS adalah surfaktan yang sangat efektif dan digunakan untuk menghilangkan noda berminyak dan residu. Sebagai contoh, SLS ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada produk industry, termasuk degreasers mesin, pembersih lantai, sampo mobil. Penggunaan SLS dengan konsentrasi yang lebih rendah yaitu pada pembuatan pasta gigi, shampoo rambut, dan busa cukur. Sodium lauril sulfat merupakan komponen penting dalam formulasi untuk efek penebalan busa dan kemampuannya untuk menciptakan busa (Fessenden, 1997).
4.2.5   Shampo
Shampo yang dihasilkan memiliki tingkat viskositas dan berat jenis yang lebih berbeda itu dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu : perbandingan komposisi masing-masing bahan yang dimasukkan pada pembuatan shampo, kondisi operasi, perbedaan bahan baku.
Karena sesuai dengan pengertiannya viskositas bergantung pada konsentrasi bahan-bahan pembuatan shampo. Sedangkan densitas (berat jenis) bergantung pada perbandingan massa dengan volume. Jadi apabila komposisi bahan yang dimasukkan berbeda perbandingannya maka akan mempengaruhi kualitas dari shampo yang dihasilkan (Prayetno, 2008).
4.2.6   Viskositas
Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, makin tinggi viskositas akan semakin besar tahanannya. Uji viskositas dilakukan dengan menempatkan 10 ml shampo ke dalam viskometer, kemudian hitung waktu yang diperlukan shampo tersebut untuk turun seluruhnya. Setelah dilakukan percobaan tersebut, didapatkan data sebagai berikut:

Tabel 4.2 Data Pengujian Viskositas



Sampel



Shampo Percobaan

Shampo Komersil (KIT)



Waktu yang dibutuhkan
3 menit 28 detik/ml
44,10 sekon/ml
Dari data yang ditampilkan pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa waktu yang dibutuhkan oleh shampoo hasil percobaan lebih lama dibandingkan dengan KIT, sehingga dapat dikatakan bahwa viskositas shampoo hasil percobaan lebih besar daripada KIT. Nilai viskositas yang besar ini terjadi karena gaya tarik menarik antar molekul penyusun shampoo lebih besar dibanding dengan KIT, gaya tarik menarik (kohesi) ini menyebabkan terjadinya gesekan yang lebih besar antar lapisan larutan saat larutan dituangkan. Sedangkan pada KIT gaya kohesi antar molekul larutannya lebih kecil, sehingga gesekan yang ditimbulkan lebih sedikit sehingga membutuhkan waktu yang lebih singkat saat dituang.
Setelah dilakukan uji viskositas, kemudian dilakukan uji densitas shampoo dengan menghitung berat 10 ml shampoo dan membandingkannya dengan KIT. Pada pengujian ini diperoleh data sebagai berikut,
Tabel 4.3 Data Pengujian Densitas
Sampel
Shampo percobaan
Volume sampel
10 ml
Berat Jenis
1,006 gram/ml

Dari data pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa densitas KIT lebih besar daripada shampo hasil percobaan. Hal itu dikarenakan konsentrasi zat terlarut pada KIT jauh lebih tinggi dibandingkan dengan shampo hasil percobaan. Sehingga nilai densitasnya lebih tinggi.
Densitas suatu zat dipengaruhi oleh berat molekul bahan tersebut. Semakin berat molekul suatu zat, maka ikatan antar molekulnya juga semakin rapat dan kuat. Sehingga viskositas pada umumnya nilainya berbanding terbalik dengan densitas.
Apabila digabungkan data hasil uji viskositas dengan data hasil uji densitas dapat disimpulkan bahwa shampo hasil percobaan memiliki viskositas yang besar sedangkan nilai densitasnya kecil. Untuk suatu larutan viskositasnya bergantung pada konsentrasi atau kepekatan larutan. Umumnya larutan yang konsentrasinya tinggi, viskositasnya juga tinggi, sebaliknya larutan yang viskositasnya rendah, konsentrasinya juga rendah (Fessenden, 1997).
Faktor yang mempengaruhi viskositas:
a.    Besar dan Bentuk Molekul
Molekul-molekul yang mudah berasosiasi mempunyai viskositas yang besar, seperti air dan etanol.Zat ini membentuk asosiasi molekul dengan ikatan hidrogen.Makin besar berat molekul, makin besar pula viskositas.
b.     Suhu
Pada kebanyakan cairan viskositasnya turun dengan naiknya suhu. Menurut teori ”lubang” terdapat kekosongan dalam cairan dan molekul bergerak secara kontinyu ke dalam kekosongan ini, sehingga kekosongan akan bergerak keliling. Proses ini menyebabkan aliran, tetapi memerlukan energi karena ada energi pengaktifan yang harus mempunyai suatu molekul agar dapat bergerak ke dalam kekosongan. Energi pengaktifan lebih mungkin terdapat pada suhu yang lebih tinggi dan dengan demikian cairan lebih mudah mengalir.
c.     Tekanan
Viskositas cairan naik dengan bertambahnya tekanan. Hal ini disebabkan jumlah lubang berkurang, sehingga bagi molekul lebih sukar untuk bergerak keliling satu terhadap yang lain.
d.   Konsentrasi
Untuk suatu larutan viskositasnya bergantung pada konsentrasi atau kepekatan larutan.Umumnya larutan yang konsentrasinya tinggi, viskositasnya juga tinggi, sebaliknya larutan yang viskositasnya rendah, konsentrasinya juga rendah (Fessenden, 1997).


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1    Kesimpulan
1.    Shampo diperoleh dari campuran antara LABSNa dan SLS, dimana LABSNa merupakan surfaktan utama dan SLS merupakan agent foaming (pembentuk busa).
2.    Shampo hasil praktikum memiliki viskositas 47,7 s/ml
3.    Densitas shamponya 1,006 gram/ml dan densitas dari KIT adalah 0,997 gram/ml
4.    Kekentalan sampo ditentukan oleh seberapa banyak kita memasukkan NaOH
5.    Hasil tes aplikasi menunjukkan bahwa shampo yang kami buat kurang baik dari KIT karena kotoran lebih lambat hilang dan busa lebih banyak, karena SLS banyak dipakai pada pembuatan shampo

5.2    Saran
Sebaiknya praktikan harus lebih berhati-hati dalam mengaduk SLS dan LABSNa karena larutan tersebut tidak boleh sampai berbusa karena apabila larutan tersebut sampai berbusa maka akan dapat mengurangi volume yang didapat, dan dapat mempengaruhi perhitungan viskositas. kemudian untuk takaran perbandingan antara NaOH, LABS dengan SLS harus sesuai agar shampoo yang didapat tidak encer atau terlalu kental.